Wednesday, May 19, 2010

ANAK (KOMODITAS) ORANG DEWASA Pameran bersama angkatan 2009 BIDIK Stikom Bandung

Memotret orang tua berkeriput atau anak dini usia itu mudah menebar empati. Keluguan si anak yang dibidik kamera, biasanya lebih naif si pemotret itu sendiri. Sepertinya, ia (pemotret) ingin melihat ekspresif anak dari sudut mata mereka, sebagai orang dewasa. Padahal, anakpun mempunyai perkspektif sendiri yang jauh berbeda dari mereka (orang dewasa). Bagaimana, 10 pasang mata angkatan 2009 BIDIK fotografi STIKOM ini, memaknai kembali keluguan anak dalam visual foto. Apa yang hendak ditawarkan dalam pameran ini?

Masih ingatkah kita, dikejutkan dengan pemberitaan seorang anak usia empat tahun, berperilaku layaknya seorang dewasa. Merokok, berkata yang tidak sepantasnya, malahan si SAS tinggal di Malang Jawa Timur pun sanggup memarahi Setyo Mulyadi dari Komnas Perlindungan Anak. Di Bandung, seperti kota besar lainnya, anak-anakpun menjadi komoditas, alat mencari keuntungan finansial. Apalagi selain menjadi peminta-minta jalanan atau pendamping orang dewasa dalam profesinya sebagai pengamen. Malah bukan rahasia umum lagi, traficking atau perdaganan budak kini di organisir lebih rapih. Melihat beberapa peristiwa di atas, negara melindunginya dengan payung hukum pasal 80 UU Perlindungan Anak tentang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak.

Kekerasan terhadap anak-anak bukan berarti bersifat fisik, bisa pula kekerasan dalam bentuk psikologis. Misalanya seperti contoh diatas, tidak mendapatkan pendidikan, kesempatan bermain, tumbuh wajar dilingkungannya dan layak mendapat perhatian dari orang tuanya. Isu seperti ini selalu menjadi masalah yang belum bisa dipecahkan pemerintah. Apalagi di Indonesia, malahan di negara adi daya seperti di Amerika pun mempunyai persoalan yang sama.

Pada masa lampau, tahun 1908 saat industri kapitalis besar melanda Amerika, Lewis H. Hine, seorang pemotret yang di pekerjakan oleh Komisi Nasional Pekerja Anak-Anak (National Child Labor Commite) untuk melaksanakan kampanye anti-eksploitasi anak di Amerika. Sepanjang tahun 1908 hingga 1912, ia melintasi Amerika untuk mendokumentasikan anak-anak yang dipekerjakan secara tidak layak di dalam industri, pertambangan batu bara, pertanian.

Tahun 1909, ia menerbitkan karya pertamanya dalam bentuk esai foto tentang anak-anak dibawah umur yang dipekerjakan disektor industri. Inti sari dari karya fotonya menggambarkan wajah anak yang direngut oleh industri besar. Karya fotografi yang dianggap mewakili aib industri di Amerika, adalah seorang anak yang sedang menatap keluar jendela di pabrik pemintalan benang. Dari karya foto inilah, senat Amerika kemudian menghasilkan aturan-aturan baru untuk melindungi anak. Lewis H. Hine telah berhasil memberikan kesadaran baru pada pandangan masyarakat Amerika, melalui foto.

Pameran itu
Hujan angin telah membuyarkan rencana besar panitia, menggelar pameran “Detak Cita Kala Beranjak” di sudut kampus STIKOM, lebih tepatnya di bawah naungan tenda awning belakang kampus. Porak poranda tidak berbentuk lagi. Apapun yang terjadi, pameran ini harus tetap berlangsung. Akhirnya lorong kelas menjadi ruang gelar pameran angkatan 2009, Unit Kegiatan Mahasiswa/ UKM BIDIK STIKOM Jalan P.HH. Mustopha 72 Bandung. Pameran ini dibuka tanggal 17 Mei 2010 dan berakhir tanggal 19 Mei 2010.

Pukul 17.30 WIB, pameran resmi dibuka. Sepuluh lampu tunsten menggantung, menerawang sepanjang lorong pendek. 25 karya fotografi yang dicetak ukuran 30×40 centimeter disusun rapih, tanpa dikategorikan khusus, semuanya disusun acak. Mungkin ini adalah pendekatan si kurator, atau keinginan panitia, yang jelas si kurator berutang penjelasan pameran. Tidak ada teks pengantar yang menggiring pengunjung untuk bisa menyelami pajang karya ini. Semua karya foto, kemudian dikurasi oleh Bambang Prasetyo, kakak angkatan di BIDIK STIKOM. Dari beberapa karya yang disetor, kemudian terpilih 25 karya terbaik yang siap pamer.

Seperti yang dijelaskan ketua pelaksan kegiatan, Masnurdiansyah, bahwa pameran ini berawal dari rangkaian kegiatan masa bimbingan dan pendidikan dasar BIDIK angkatan 2009. Jadi semacam tradisi semenjak Unik Kegiatan Mahasiswa ini berdiri tahun 1998 lalu. Setiap tahun diselenggarakan pameran angkatan. Dari 12 orang yang tergabung di angkatan 2009, hanya 10 orang saja yang berpartisipasi, diantaranya; Nadia Sagara Asmara, Lia Amalia, Risanti, Nurul Maulyda Ekaputri, Wanti Puspa Gustiningsing, Chandra Kurnia, Masnurdiansyah, Novrian Arbi, Riyadhus Shalihin, Asep Pupu Saeful Bachri.

Semua karya, diambil bukan dengan metode foto hunting keroyokan. Semua karya hasil pengamatan masing-masing pemotret, kemudian diambil secara individu. Dengan demikian, karya foto pun beragam. Berbeda dengan penyelenggaraan tahun lalu, beberapa foto nampak sama karena menggunakan metode pengambilan gambar bergerombol. Dari lima puluh lebih karya yang diserahkan kepada kurator, hanya 26 foto saja yang lolos dipamerkan. Rupanya mereka belajar dari penyelenggaraan sebelumnya, pamera bersama tiap angkatan serupa tahun lalu di Saung Angklun Udjo.

Karya Risanti, tiga orang anak yang sedang istirahat, karena lelah berjalan kaki dalam rangka karnaval, diambil dengan sudut diagonal. Semuanya tersenyum polos, namun satu anak paling depan mengacungkan jari tengah, sebagai penanda bahasa ejekan, yang belum tentu ia mengeriti arti tersebut. Risanti jelas tidak memprovokasi si anak untuk berbuat seperti itu, namun ini adalah gejala meniru, entah itu dari televisi maupun tindakan yang diperlihatkan oleh orang dewasa.

Upaya anak dibuat seperti orang dewasa berhasil direkam Chandra. Dalam karyanya berjudul “Kekurangan bunlah menjadi halangan” tampak foto anak mengenakan busana daerah Sunda, lengkap dengan Bendo, menatap lensa dengan mata dipicingkan. Si anak terlihat kurang begitu menikmati pakaiannya, karena mungkin terasa panas dikenakan pada siang hari. Ini adalah bentuk keinginan orang tua, yang menyertakan anaknya dalam sebuah kontes karnaval, menghedaki anakanya menjadi pemenang. Padahal kehendak anaknya bisa lain.

“Tawa jumawa Pasopati” karya Novian Arbi, mengingatkan saya pada sebuah adegan ketika seorang kepala gangster mengatur strategi, memerintah anak buahya sebelum penyerbuan. Titik momen yang sangat pas, tampak Novian bisa melebur dan dipercaya, masuk dalam jarak yang bisa diterima oleh sekelompok anak-anak ini. Jelas Novian pasti telah melakukan pendekatan sebelumnya, sehingga anak-anak ini beradegan tanpa terganggu. Malahan gayanya pun tidak terprovokasi jarak lebih dekat, karena menggunakan lensa lebar.

Ryadus berhasil merekam seorang anak dengan kebutuhan khusus, yang sedang menunggu orang tuanya. Pengambilan gambar di sekolah berkebutuhan khusus ini sangatlah pas, ketika jeruji yang memisahkan antara ruang sekolah dan luar menjadi penanda pemisah antara dunia normal dan tidak. Judul “Perfect world” turut pula memberikan tekanan, bahwa anak tidak normalpun berhak aktif didunia orang normal.

“Elegi Pembelajaran” karya Riyadus Salihin, memberikan perspektif lain dari tentang komersialisasi pendidikan. Tampak seorang anak, berdiri di bawah naungan poster yang dipegang, yang mungkin orang tuanya, menatap kosong. Peristiwa ini diambil pada saat demonstrasi di depan kantor Gubernut Jawa Barat, dalam rangkaian Mayday, demo besar buruh di Bandung. Riyadus memilih komposisi tepat, framing teks “Stop Komersialisasi Pendidikan” dan wajah si anak perempuan, sungguh jelas pesan yang disampaikannya.

Begitulah fotografi, menyampaikan pesan. Misi inilah yang memang disadari para pemotret ini, yang dibungkus dengan judul “Detak cita kala beranjak”, mempertanyakan kembali, apakah hak dan kesempatan anak-anak kini telah diperhatikan atau tidak? Mari kita simpulkan bersama. (denisugandi@gmail.com)

1 comment:

Unknown said...

Meski tidak melihat secara langsung Pameranya, dalam bathin saya saya bisa merasakan pameran yang diadakan ini sungguh-sungguh sangat menarik Mas. Sukses Pameranya :)