Thursday, May 27, 2010

SIAPA TIDAK KENAL SINAR BARU? Studio foto terkenal milik Tan Tjiauw Hong

Studio mungil di ujung jalan Jalan Raya Barat pasar Andir itu tidaklah pernah sepi. Studio foto ini memang sedang mekar merekah, bahkan pelanggan rela mengantri dan mengambil nomor. Inilah studio paling diminati masyarakat Bandung pada masanya, melayani pas foto, foto studio dan foto panggilan. Jasa layanan foto yang didirikan oleh Tan Tjiauw Hong tahun 1964.

Jauh sebelum tahun 60-an, Tan Tjiauw Hong belajar cara teknik fotografi, artistik hingga kamar gelap pada Lan Ke Tung, pemilik studio foto Lovely di jalan Dewi Sartika Bandung. Perlu diketahui bahwa, pada masa itu informasi atau literatur tentang fotografi sangat sulit, bila ada, itupun dalam bahasa Belanda. Sehingga menjadi ahli fotografi sangatlah langka dan mahal. Menurut keterangan Tan Tjiauw Hong, pada masanya, belumlah ada sekolah dan keahlian memotret dan memroses dikamar gelap. Inilah ciri studio foto pada masa kolonial hingga setelah kemerdekaan, menggunakan manajemen tradisional yang melibatkan keluarga kemudian pengetahuan fotografi itu diwariskan pada keturunanya.

Mengawali karir di kota Cirebon, setelah belajar dari Lan Ke Tung. Ia mendapat tawaran dari keluarga besarnya, ia membuka studio jasa layanan pas foto di dekat bioskop Paradise kota Cirebon. Dari studio inilah, Tan Tjiauw Hong mengasah keterampilannya, baik itu cara memotret menggunakan sheet media rekam yang masih menggunakan sheet plastik 9x12cm, hingga meracik sendiri obat developer dan larutan kimiawi penetap/fixer, untuk proses kamar gelap. Terhitung hampir lima tahun lebih ia berhasil dan sukses, hingga jasa pas fotonya diminati masyarakat Cirebon. Karena mengaku cukup melelahkan, karena harus pulan dan pergi Cirebon-Bandung, maka ia memutuskan untuk kembali ke kota Bandung.

Tahun 1964, dengan bekal keterampilan dari cirebon, dibantu keluarga, ia mendirikan studio foto di Jalan Raya Barat (kini Jalan Asia-Afrika) Andir Bandung. Ia meilih lokasi ini karena pada masa itu, kegiatan ekonomi di kota Bandung berada disekitar Pasar Baru-Jalan Raya Barat-Andir. Pemilihan tempat ini kelak turut menentukan keberuntungan studi foto miliknya, yang kemudian dinamai Sinar Baru. Sesuai namanya, layanan jasa studio foto dan pas foto bersinar terang, hampir seluruh masyarakat Bandung pernah menggunakan jasanya. Pada perjalanannya, kesuksesan usaha ini, rupanya tidak ditunjang dengan manajemen yang baik, semua kegiatan memotret dan memroses di kamar gelap, hanya dilakukan sendiri. Meskipun dibantu kerabat dekatnya, pekerjaan yang paling penting selalu ia kerjakan tanpa ingin dibantu orang lain, ia hanya memperkejakan seorang asisten dalam proses kamar gelap. Karena keterbatasan fisik dan tenaga, ia menerapkan strategi jam kerja. Buka jam sembilan pagi, tutup jam dua belas siang, kemudian buka jam empat sore hingga malam jam tujuh. Kesempatan istirahat ini, ia manfaatkan untuk memroses di kamar gelap.

Ragam produk yang ditawarkan adalah mulai dari memotret untuk kebutuhan pas foto, hingga proses cetak, ia lakukan sendiri. Pada masanya, ia turut pula mengalami perkembangan teknologi fotografi masa itu, mulai dari penggunaan media rekam dari sheet kaca yang siap ekspose, dijual dalam satu box isi 6 sheet untuk ukuran 9x12 cm dan 18x24cm. Untuk kebutuhan foto studio, kemudian ia menggunakan jenis sheet plastik ukuran 9x12cm dan 18x24cm (ortho), tahun-tahun berikutnya, awal tahun 70-an, ia mulai menggunakan roll film 120mm, untuk ukuran 6x9cm adalah 8 frame dan ujuran 6x6cm negatif untuk 12 frame. Semua material fotografi ia beli di Dragon Photo Suplai Braga (Kini menjadi Kamal Photo Suply). Untuk kamera studio format besar merek Astoria, ia membeli di toko perlengkapan kamera Popular Pasar Baru Jakarta.

Sinar Baru pada masa itu sangat fenomenal, bisa dikatakan, bila belum pernah difoto di studio ini, berarti bukan warga berasal dari kota Bandung. Meskipun ada beberapa studio foto yang menawarkan jasa yang sama, namun hanya Sinar Baru yang paling banyak diminati, dari berbagai lapisan strata sosial masyarakat Bandung. Pada masa itu, studio sejenis dalam kurun waktu yang sama adalah Goodland di samping hotel Savoy Homann, Bek Ik Tjiang di jalan Kebon Jati, Lok Hwa dekat bioskop Capitol Jalan Raya Barat Pasar Andir, Lively (Kini Seni Abadi) di jalan Merdeka depan Hotel Panghegar, Tek Can di dalam pasar Andir, Lovely (Lan Ke Tung) di jalan Dewi Sartika, Aloen Foto jalan Karapitan, Pasific jalan Braga dan Polyphoto di Pasar Baru Bandung.

Hingga lebih dari 20 tahun lebih ia mempertahankan bisnisnya. Anggota Perhimpunan Amatir Foto Bandung dengan nomor anggota 222 ini pun merasa jenuh dengan bentuk usaha ini. Akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkannya kembali, kemudian mengambil pensiun dari bisnis ini dan aktif bergabung di klub foto di Bandung. Dalam catatan administrasi di PAF, Tan Tjiauw Hong adalah anggota paling lama dan masih aktif hingga kini. Boleh dikatakan, sesuai dengan usaha studio fotonya “Sinar Baru” dalam usia 78 tahun pun, ia tetap merasa baru. Ia lah manusia tiga jaman yang masih aktif memotret hingga kini. (denisugandi@gmail.com)

Wednesday, May 26, 2010

WORKSHOP KLJ BALAS DENDAM! KLJ ATTACK II: The Revenge, DKV Universitas Widyatama, 26 Mei 2010

Memang nekat workshop kali ini, kalau istilah Ahmad Afgan Shofyadi adalah “Gabred weh mang!” arti bebasnya mungkin adalah kepalang basah, dalam bahasa Sunda “Kagok edan” Itulah sajian Workshop kamera lubang jarum di DKV Universitas Widyatama, tanggal 26 Mei 2010. Mungkin ini yang dimaksud dengan “balas dendam” pada tajuk kegiatan ini. Sebuah balas dendam kreatif yang digagas Ahmad A. Shofyadi cs dari Enlight Learning Center. Sebuah percobaan, merakit dengan cara melipat sendiri, menentukan focal length/titik bakar api, jarak lubang ke media refleksi dan ukuran lubang kamera lubang jarum.

Memang sulit, mencari padanan “Gabred” dalam bahasa melayu. Mungkin yang dimaksud adalah nekat membuat kamera sendiri. Tidak seperti workshop yang diselenggarakan Enlight Learning Center waktu lalu, kali ini memang benar-benar merakit kamera sendiri dengan menggunakan material dasar dari karton duplek. Pada awalnya sulit dilakukan, namun menarik juga. Bisa dikatakan, inilah salah satu pendekatan workshop dengan membuat kamera sendiri, sepanjang komunitas ini didirikan semenjak delapan tahun yang lalu.

Workshop itu

Pembukaan seperti terncantum dipengumuman yang disebar di jejaring Facebook groups KLJI Bandung, tepat jam delapan pagi, di lantai lima, DKV Universitas Widyatama, jalan Cikutra Nomor 204 A Bandung. Karena dilaksanakan di Bandung, jadi waktu yang ditentukan selalu ditambahi embel-embel “WIB” alias Wayah Iraha Bae. Tetapi tidak masalah, pada akhirnya, semakin hari siang, mulai pula para partisipan berdatangan. Paling banyak dihadiri dari kampus Widyatama sendiri, sebagian berasal dari beberapa kampus dan SMU di Bandung. Semua partisipan merasa penasaran, apa itu pinhole? Bagaiamana bisa merekam gambar. Ketertarikan inilah yang selalu menarik bagi mereka yang belum pernah mencobanya.

Seperti yang sudah-sudah, Deni memberikan pengantar latar sejarah pinhole dunia dan manfaatnya, kemudian disambung Dede Gondrong mengenai tata cara meracik chemical dan proses di kamar gelap. Pada sesi presentasi terakhir, Ahmad dari Enlight menyampaikan ketentuan merakit kamera. Instruksi pertama yang diberikan, memang membuat partisipan yang berjumlah 30 orang lebih terpana. Terutama bagi mereka yang belum pernah mengikuti kegiatan ini sebelumnya. Bagaimana caranya membuat kamera obscura dari selembar karton duplek tebal?

Pada workshop reguler yang biasa dilaksanakan komunitas pinhole di Bandung, maupun di kota lainnya, biasanya menggunakan media kaleng sebagai kamera. Namun wokrshop yang digagas kali ini, memberikan peluang kreasi bagi para partisipan. Tentu saja pihak penyelenggara workshop tidak serta merta hanya memberikan karton duplek saja, namun sedikit memberikan ide dorongan, dengan memberikan beberapa template cara melipat. Tidak terasa, waktu perakitan cukup lama, hingga dua jam terhitung dari pemberian materi. Beberapa peserta bisa mengikuti, ada beberapa yang masih berjuang membuat disain, atau coretan diatas karton duplek. Ini semacam tantangan, daripada menggosok alumunium foil dengan menggunakan ampelas.

Beberapa kali ujung pisau cutter dipotong, rupanya panitia kurang sigap memberikan alas potong. Karena hanya bermodalkan alas ubin langsung, jadi kendala memotong duplek yang ternyata cukup tebal. Dari 30 orang lebih peserta, tampak begitu antusias mengikuti kegiatan ini. Agar mudah dalam pendampingan, maka dibagi menjadi tiga kelompok, yang dipandu oleh Wili, Gilang, Rofii, Dede Gondrong, Deni, Ahmad dan Aceng.

Kreasi membangun bentuk kamer

Berbekal prinsip, kamera terbaik sedunia adalah kamera buatan sendiri! Kamera urang, kumaha urang, yang terpenting jadi! Memang dalam merakit kamera lubang jarum tidak ada ketentuan khusus, selain jarak lubang dan bidang reflektif. Semakin dekat jaraknya, menjadi sudut lebar, begitu sebaliknya, semakin menjauh, maka menjadi tele. Prinsip dasar fotografi.

Dari workshop ini, berusaha memberikan sebuah rangsangan, bahwa bentuk kamera bisa beragam, tetapi yang lebih terpenting adalah tantangan kreasi membentuk refleksi bayangan tersebut melalui bentuk kamera rakitan sendiri. Nilai proses kreatif tidak bergantung pada material yang ada, malahan bisa lebih dari itu, memanfaatkan matererial yang dianggap sudah tidak digunakan lagi, alias menjadi sampah. Tentunya, semangat inilah, yang hendak dibangun dari komunitas ini, bahwa proses kreasi dimulai dari merakit kamera sendiri, dengan melipat, menentukan focal length/titik bakar api, jarak lubang ke media refleksi dan ukuran lubang. Gagasan inilah yang selalu menarik dari lubang jarum, melalui lubang bisa melihat dunia. (denisugandi@gmail.com)

Tuesday, May 25, 2010

MOMEN ARTIFISIAL Catatan pameran bersama JEPRET UNISBA, “Panggung Selebrasi” 8 hingga 30 Mei 2010

Ratusan pasang mata tertuju pada sebuah panggung. Band Indie yang menghadirkan komposisi musik, turut ditimpali aksi musisinya. Sayatan distrorsi gitar menjerit histeris, ditimpali rhythm section-bass dan drum. Kini giliran lead vocal mengerang, mengarahkan microphone pada penonton, bahwa ruang batas sudah tidak ada lagi. Penonton adalah musisi juga, sama-sama larut dalam hentakan musik rock. Itulah sebuah “panggung realita” yang dibangun melalui jepretan kamera, dalam pameran bersama “Panggung Selebrasi” karya bersama Jendela Edukasi Pemotret Bandung (JEPRET) Universitas Islam Bandung, tanggal 8 hingga 30 Mei 2010.

Inilah statement karya bersama, yang dipajang rame-rame disebuah kedai kopi disudut belakang taman Dago, Cikapayang Bandung. Memang bukan hal aneh lagi, kini pameran ditempatkan pada sebuah ruang komersial (menandakan tidak ada ruang yang layak untuk pameran karya fotografi di kota Bandung) seperti kedai kopi ini, yang menyulap dirinya ala kadarnya, menjadi ruang pertemuan bagi pelaku fotografi di Bandung. Bagi pengelola kedai ini, tentunya ini adalah lahan bisnis yang basah, sesuai dengan tag line “belilah makanan di sini, maka pajanglah karyamu”. Tentunya para pelaku fotografer tidak akan merasa dimanfaatkan, bila ruang ini dikelola dan diatur menjadi ruang bersama, sekaligus menjadi-misalnya ruang layak pamer karya.

Menerawang memasuki ruang pameran, ternyata harus melalui meja-meja yang memang diperuntuk bagi pembeli. Tata letak kursi yang seharusnya ditata menarik untuk jalur penikmat foto, nyatanya bertebaran. Malahah beberapa foto digantung diseberang meja dan kesepian tanpa sorotan lampu sama sekali. Sesak dan padat, pada ruang tidak terlalu lebar, rupanya pemilik kedai kopi ini kurang cerdas menata ruang sempit ini.

Memang aneh juga, kedai kopi ini membranding dirinya dengan café photography, nyatanya pengemasan karya, ruang pajang, perlengkapan pendukung seperti lampu sorot, tata letak dan sebagainya, sangat kurang. Bagaimana karya bisa bersorak, bila penyajian pameran saja kurang diperhatikan. Pada akhirnya, karya foto tersebut bukan disebut pameran foto, namun dekoratif penunjang kedai kopi ini. Menyedihkan.

Di sudut bagian dalam, sebagian besar karya dipajang pada dinding yang memang diperuntukan bagi pameran kali ini. Dinding triplek menutupi toilet umum, kemudian disulap menjadi wall art gallery. Lampu sorot tungsten pun kurang cukup menerangi beberapa foto, bahkan sudut sebelah kiri nyaris tidak disoroti lampu. Sekali lagi cara unik menikmati karya foto dalam gelap gulita. Dalam kondisi gaduh dan pengunjung hilir mudik, tentu saja saya harus tabah meraba dan memaknai foto dalam batas waktu yang singkat. Saya berusaha menerka-nerka setiap foto yang tersaji dalam ukuran tiga puluh kali empat puluh ini. Sulit juga memahami karya kolektif ini tanpa ada dasar wacana yang biasa diberikan oleh kurator, sebuah statmen dari kurator.

Dari sekian ratus foto yang dikirim kepada kurator, kemudian dikurasi oleh Firdaus Fadlil yang kini bekerja pada majalah remaja HAI. Dari hasil penelurusan, maka keluarlah lima puluh foto yang layak pamer, menurutnya. Karya ini adalah hasil eksplorasi tiap angkatan 2008, 2009 dan 2010 dari Jendela Edukasi Pemotret Bandung (JEPRET) Unisba. Pameran bersama ini kemudian dikemas dalam tema “Panggung Selebrasi” yang menurut ketua penyelenggara adalah dalam rangkaian ulang tahun klub JEPRET ke-sepuluh.

Mencari tema yang sama, bagi mereka yang mengawali fotografi, pasti mencari bentuk dalam benang merah yang sama. Rupanya, klub ini sangat menyukai memotret live music. Semua karya yang dihasilkan anggota klub ini bertemakan foto-foto panggung, bentuk yang sama ini, kemudian mereka sepakati menjadi tema sentral pameran yang homogen foto panggung musik.

Mudah-mudah gampang, begitulah foto panggung ini (Dalam pameran ini dibatasi untuk pertunjukan foto musik modern, padahal begitu banyak performing di atas panggung yang jauh lebih menarik) Tugas si pemotret adalah memaknai kembali ekspresif lingkungan dan subyek yang berada di panggung. Makna yang dangkal akan mudah dilihat, malahan dalam beberapa karya yang hadir tidak bermakna sama sekali, lebih banyak berbicara teknis. Panggung adalah dunia artifisial, semuanya memang sudah diatur, baik itu dari tata suara, lampu, koreografi hingga busana. Tugas si pemotret adalah merangkum dari semuanya. Bila berhasil, karya tersebut menjadi catatan dokumentasi yang bisa menembus beberapa jaman, lihat saja karya-karya Annie Leibovitz. Hingga media Amerika menasbiskan karyanya sebagai American Pop Culture Icon.

Berhasil atau tidak foto panggung, bermuara pada wawasan sipemotret itu sendiri. Sejauh mana ia bisa “meng-alih wahanakan” statemen si musisi yang dipresentasikan di atas panggung (performing) kemudian dibekukan dalam satu bingkai foto. Kembali lagi, segala kepalsuan di atas panggung pada pentas musik itu memang bisa mengasikan, tetapi juga sungguh biasa-biasa saja, tergantung maunya apa. (denisugandi@gmail.com)

Wednesday, May 19, 2010

ANAK (KOMODITAS) ORANG DEWASA Pameran bersama angkatan 2009 BIDIK Stikom Bandung

Memotret orang tua berkeriput atau anak dini usia itu mudah menebar empati. Keluguan si anak yang dibidik kamera, biasanya lebih naif si pemotret itu sendiri. Sepertinya, ia (pemotret) ingin melihat ekspresif anak dari sudut mata mereka, sebagai orang dewasa. Padahal, anakpun mempunyai perkspektif sendiri yang jauh berbeda dari mereka (orang dewasa). Bagaimana, 10 pasang mata angkatan 2009 BIDIK fotografi STIKOM ini, memaknai kembali keluguan anak dalam visual foto. Apa yang hendak ditawarkan dalam pameran ini?

Masih ingatkah kita, dikejutkan dengan pemberitaan seorang anak usia empat tahun, berperilaku layaknya seorang dewasa. Merokok, berkata yang tidak sepantasnya, malahan si SAS tinggal di Malang Jawa Timur pun sanggup memarahi Setyo Mulyadi dari Komnas Perlindungan Anak. Di Bandung, seperti kota besar lainnya, anak-anakpun menjadi komoditas, alat mencari keuntungan finansial. Apalagi selain menjadi peminta-minta jalanan atau pendamping orang dewasa dalam profesinya sebagai pengamen. Malah bukan rahasia umum lagi, traficking atau perdaganan budak kini di organisir lebih rapih. Melihat beberapa peristiwa di atas, negara melindunginya dengan payung hukum pasal 80 UU Perlindungan Anak tentang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak.

Kekerasan terhadap anak-anak bukan berarti bersifat fisik, bisa pula kekerasan dalam bentuk psikologis. Misalanya seperti contoh diatas, tidak mendapatkan pendidikan, kesempatan bermain, tumbuh wajar dilingkungannya dan layak mendapat perhatian dari orang tuanya. Isu seperti ini selalu menjadi masalah yang belum bisa dipecahkan pemerintah. Apalagi di Indonesia, malahan di negara adi daya seperti di Amerika pun mempunyai persoalan yang sama.

Pada masa lampau, tahun 1908 saat industri kapitalis besar melanda Amerika, Lewis H. Hine, seorang pemotret yang di pekerjakan oleh Komisi Nasional Pekerja Anak-Anak (National Child Labor Commite) untuk melaksanakan kampanye anti-eksploitasi anak di Amerika. Sepanjang tahun 1908 hingga 1912, ia melintasi Amerika untuk mendokumentasikan anak-anak yang dipekerjakan secara tidak layak di dalam industri, pertambangan batu bara, pertanian.

Tahun 1909, ia menerbitkan karya pertamanya dalam bentuk esai foto tentang anak-anak dibawah umur yang dipekerjakan disektor industri. Inti sari dari karya fotonya menggambarkan wajah anak yang direngut oleh industri besar. Karya fotografi yang dianggap mewakili aib industri di Amerika, adalah seorang anak yang sedang menatap keluar jendela di pabrik pemintalan benang. Dari karya foto inilah, senat Amerika kemudian menghasilkan aturan-aturan baru untuk melindungi anak. Lewis H. Hine telah berhasil memberikan kesadaran baru pada pandangan masyarakat Amerika, melalui foto.

Pameran itu
Hujan angin telah membuyarkan rencana besar panitia, menggelar pameran “Detak Cita Kala Beranjak” di sudut kampus STIKOM, lebih tepatnya di bawah naungan tenda awning belakang kampus. Porak poranda tidak berbentuk lagi. Apapun yang terjadi, pameran ini harus tetap berlangsung. Akhirnya lorong kelas menjadi ruang gelar pameran angkatan 2009, Unit Kegiatan Mahasiswa/ UKM BIDIK STIKOM Jalan P.HH. Mustopha 72 Bandung. Pameran ini dibuka tanggal 17 Mei 2010 dan berakhir tanggal 19 Mei 2010.

Pukul 17.30 WIB, pameran resmi dibuka. Sepuluh lampu tunsten menggantung, menerawang sepanjang lorong pendek. 25 karya fotografi yang dicetak ukuran 30×40 centimeter disusun rapih, tanpa dikategorikan khusus, semuanya disusun acak. Mungkin ini adalah pendekatan si kurator, atau keinginan panitia, yang jelas si kurator berutang penjelasan pameran. Tidak ada teks pengantar yang menggiring pengunjung untuk bisa menyelami pajang karya ini. Semua karya foto, kemudian dikurasi oleh Bambang Prasetyo, kakak angkatan di BIDIK STIKOM. Dari beberapa karya yang disetor, kemudian terpilih 25 karya terbaik yang siap pamer.

Seperti yang dijelaskan ketua pelaksan kegiatan, Masnurdiansyah, bahwa pameran ini berawal dari rangkaian kegiatan masa bimbingan dan pendidikan dasar BIDIK angkatan 2009. Jadi semacam tradisi semenjak Unik Kegiatan Mahasiswa ini berdiri tahun 1998 lalu. Setiap tahun diselenggarakan pameran angkatan. Dari 12 orang yang tergabung di angkatan 2009, hanya 10 orang saja yang berpartisipasi, diantaranya; Nadia Sagara Asmara, Lia Amalia, Risanti, Nurul Maulyda Ekaputri, Wanti Puspa Gustiningsing, Chandra Kurnia, Masnurdiansyah, Novrian Arbi, Riyadhus Shalihin, Asep Pupu Saeful Bachri.

Semua karya, diambil bukan dengan metode foto hunting keroyokan. Semua karya hasil pengamatan masing-masing pemotret, kemudian diambil secara individu. Dengan demikian, karya foto pun beragam. Berbeda dengan penyelenggaraan tahun lalu, beberapa foto nampak sama karena menggunakan metode pengambilan gambar bergerombol. Dari lima puluh lebih karya yang diserahkan kepada kurator, hanya 26 foto saja yang lolos dipamerkan. Rupanya mereka belajar dari penyelenggaraan sebelumnya, pamera bersama tiap angkatan serupa tahun lalu di Saung Angklun Udjo.

Karya Risanti, tiga orang anak yang sedang istirahat, karena lelah berjalan kaki dalam rangka karnaval, diambil dengan sudut diagonal. Semuanya tersenyum polos, namun satu anak paling depan mengacungkan jari tengah, sebagai penanda bahasa ejekan, yang belum tentu ia mengeriti arti tersebut. Risanti jelas tidak memprovokasi si anak untuk berbuat seperti itu, namun ini adalah gejala meniru, entah itu dari televisi maupun tindakan yang diperlihatkan oleh orang dewasa.

Upaya anak dibuat seperti orang dewasa berhasil direkam Chandra. Dalam karyanya berjudul “Kekurangan bunlah menjadi halangan” tampak foto anak mengenakan busana daerah Sunda, lengkap dengan Bendo, menatap lensa dengan mata dipicingkan. Si anak terlihat kurang begitu menikmati pakaiannya, karena mungkin terasa panas dikenakan pada siang hari. Ini adalah bentuk keinginan orang tua, yang menyertakan anaknya dalam sebuah kontes karnaval, menghedaki anakanya menjadi pemenang. Padahal kehendak anaknya bisa lain.

“Tawa jumawa Pasopati” karya Novian Arbi, mengingatkan saya pada sebuah adegan ketika seorang kepala gangster mengatur strategi, memerintah anak buahya sebelum penyerbuan. Titik momen yang sangat pas, tampak Novian bisa melebur dan dipercaya, masuk dalam jarak yang bisa diterima oleh sekelompok anak-anak ini. Jelas Novian pasti telah melakukan pendekatan sebelumnya, sehingga anak-anak ini beradegan tanpa terganggu. Malahan gayanya pun tidak terprovokasi jarak lebih dekat, karena menggunakan lensa lebar.

Ryadus berhasil merekam seorang anak dengan kebutuhan khusus, yang sedang menunggu orang tuanya. Pengambilan gambar di sekolah berkebutuhan khusus ini sangatlah pas, ketika jeruji yang memisahkan antara ruang sekolah dan luar menjadi penanda pemisah antara dunia normal dan tidak. Judul “Perfect world” turut pula memberikan tekanan, bahwa anak tidak normalpun berhak aktif didunia orang normal.

“Elegi Pembelajaran” karya Riyadus Salihin, memberikan perspektif lain dari tentang komersialisasi pendidikan. Tampak seorang anak, berdiri di bawah naungan poster yang dipegang, yang mungkin orang tuanya, menatap kosong. Peristiwa ini diambil pada saat demonstrasi di depan kantor Gubernut Jawa Barat, dalam rangkaian Mayday, demo besar buruh di Bandung. Riyadus memilih komposisi tepat, framing teks “Stop Komersialisasi Pendidikan” dan wajah si anak perempuan, sungguh jelas pesan yang disampaikannya.

Begitulah fotografi, menyampaikan pesan. Misi inilah yang memang disadari para pemotret ini, yang dibungkus dengan judul “Detak cita kala beranjak”, mempertanyakan kembali, apakah hak dan kesempatan anak-anak kini telah diperhatikan atau tidak? Mari kita simpulkan bersama. (denisugandi@gmail.com)