Tuesday, December 28, 2010

Catatan dari penjurian lomba foto Festival Saparua, 25-26 Desember 2010

“Lomba foto dadakan, hanya tujuh peserta”

Sesuai perjanian, pihak panitia menjanjikan penjurian pukul dua sore, namun entah kenapa, janji itu tidak ditepati. Informasi yang diterima, ternyata memang mereka berencana mencetak foto di sebuah lab foto di jalan Merdeka Bandung, satu-satunya sponsor cetak foto potongan lima puluh persen.

Akhirnya rencana cetak foto itupun di urungkan, jadi langsung saja tiga panitia segera menepi kembali menepati, maka penjurian terjadilah. Bertempat di Surapati Core, tempat Galih Sedayu, panitia tiba dua jam dari waktu yang dijanjikan. Rupanya panitia penyelenggara belum siap, data peserta masih bentuk file, media CD, jadi data harus disimpan terlebih dahulu di hardisk laptop. Singkat cerita, data ditata dipersiapkan untuk penjurian. Sesuai dengan ketentuan lomba, setiap partisipan hanya diperbolehkan mengirim karya tidak lebih dari lima karya, jadi dari tujuh peserta yang turut serta, hanya 35 foto saja yang akan dijuri.

Jumlah peserta hanya tujuh orang saja. Alasan panitia adalah acara lomba foto ini dipersiapkan dalam jeda waktu hanya satu minggu saja. Penyebaran informasipun jadi sekedar basa-basi saja, malahan minus tiga hari sebelum pelaksanaan lomba, informasi belum tersebar luas. Pantas saja jumlah tersebut jauh dari ketentuan penyelenggaraan lomba, dengan embel-embel total hadiah lima juta rupiah.

Jumlah yang menggiurkan untuk lomba foto dadakan. Bukan berarti karena lomba foto kurang menarik, tetapi persoalannya adalah teknis penyebaran informasi yang kurang. Jadi kalau boleh saya simpulkan semacam lomba foto rahasia. Ini bisa dimengerti, karena serba mepet, plus tidak mempunyai jejaring informasi. Memang paling mudah melalui short message service/SMS atau posting di jejaring sosial, para pengguna akun salah satu jejaring sosial dan teknologi pendukung sudah bisa dimiliki siapa saja, bahkan beberapa handphone merek tertentu sudah terkoneksi internet, dengan harga murah pun mudah didapat, bahkan benda kecil ini pun biasa dimana kemana-mana, hingga ruang sangat pribadi, di bilik termenung alias toilet.

Kembali ke penjurian, juri yang terdiri dari tiga orang; Deni Sugandi, Galih Sedayu dan satu orang lagi dari pihak panitia, memilih karya berdasarkan kesepakatan saja. Dari jumlah entri 35 karya, kemudian disusutkan berdasarkan konten menjadi 14 karya, yang selanjutnya menjadi 5 besar. Sesuai dengan permintaan panitia, maka juri memilih tiga karya saja, menjadi tiga besar, masing-masing berurutan. Juara

Melihat motif lomba foto yang kini terselenggara, kompetisi ini termasuk dihadirkan sebagai event pendukung acara utama. Seperti yang dituturkan oleh ketua panitia Maphac, pihak penyelenggara mengajak klub kampus ini untuk mengisi stand yang memang kosong, dengan timbal balik, pihak panitia mendapatkan dokumentasi foto seluruh kegiatan Festival Saparua.

Karena setiap kegiatan Festival Saparua adalah kompetisi; freestyle BMX, skateboard, in-line skating, maka Maphac memutuskan menyelenggarakan pula kompetisi lomba fotografi. Untuk urusan komponen hadiah, pihak panitia Maphac mengajukan proposal ke pihak Rektorat, melalui Pembantu Rektor III, bagian kegiatan. Dari pihak penyelenggara pendidikan, akhirnya meloloskan sejumlah angka untuk hadiah, sedangkan urusan lainya, adalah berjibaku!.

Ciri penyelenggaraan seperti ini memang sering dilakukan oleh pihak penyelenggara berasal dari unit kegiatan mahasiswa/UKM, atau klub foto yang berbasiskan di kampus. Tetapi seharusnya tidak demikian, dalam kondisi seperti di atas, lomba foto itu bukan menjadi pilihan wajib dalam penyelenggaraan kegiatan, masih ada bentuk lainya yang layaknya cocok dengan untuk acara dadakan, katakanlah workshop pemotretan untuk pemotretan bertemakan sport in action yang ada dalam rangkaian acara di festival tersebut. Jadi fotografi bisa ditandem diacara apa saja. Kalau memang lomba foto tidak memungkinkan, sebenarnya tidak perlu dipaksakan. (denisugandi@gmail.com)

Saturday, November 13, 2010

PHOTOSHOP INSIDE!

Semua yang telah dilakukan fotografi kini, adalah hasil proses panjang penyempurnaan, semenjak diumumkan pada publik melalui karya Niepce tahun 1826 “View from window Le’gras” di Prancis. Bahkan proses alih rupa pertama, teknik montase di dunia, dilakukan Hyppolyte Bayard, tahun 1839, dengan judul karyanya “Self portrait as drown man”, sebagai protes pada pemerintah Prancis yang hanya mengakui Daguere, ketika ia mematenkan penemuannya. Dalam kurun waktu yang sama, di ingris, William Fox Talbot turut menyempurnakan penemuan Thomas Wegwood dan Humprhy Davy, sebuah terobosan metode rekam yang bisa direproduksi berkali-kali; negatif! Hingga tahun 1888, seorang teler sebuah bank di Amerika, merevolusi teknik rekam "You Press the Button, We Do the Rest". Semenjak itu, fotografi sebagai alat yang sangat demokratis.

Dari rangkaian peristiwa di atas, jelas bahwa fotografi kini adalah hasil penyempurnaan dari para pelaku, mulai dari ahli kimia, fisika, optis, mekanik hingga antusias. Semuanya menuju satu titik, sama-sama mempermudah proses pemotretan secara teknis. Lantas bagaimana kelanjutannya kini?

Semenjak awal tahun 2000, fotografi menjadi bagian penting proses fotografi posmodern. Semakin mudah, murah dan meriah. Begitu juga digital imaging (baca: paska-produksi), bagian dari teknologi ini yang memungkin untuk “bisa berbohong” dengan sekejap, dengan software editing yang beragam. Tidak ada batasan kreasi, selama mempunyai perangkat software dan hardware yang memadai. Semuanya serba mudah dan cepat. Dengan demikian, apalagi yang dicari oleh fotografi? Apakah fotografi sudah mencapai titik tertinggi? kehilangan tantangannya? Jawaban seperti ini, rupanya hinggap di komunitas lubang jarum Indonesia.

Komunitas yang lahir akibat fotografi digital dan digital imaging delapan tahun yang lalu, ingin turut “mempertanyakan” kembali fotografi sebenarnya, tentunya kebenaran yang diyakini versi komunitas ini. Sejatinya makna yang terkandung didalam digital imaging (DI) sama saja dengan proses kreatif lubang jarum (LJ), karena teknologi kini menyerap kaidah fotografi tradisional, namun yang membedakan adalah hanya medianya saja. Dalam DI, segala sesuatunya selalu berlandaskan kecepatan waktu proses dan ketepatan, sedangkan LJ sebaliknya, bahkan bisa diluar dugaan. Bila berpijak pada proses kreasi, tentunya LJ lebih kaya dibandingkan DI. Dengan prinsip “membuat, bukan membeli” lubang jarum lebih egaliter. Berawal dari bentuk yang sudah ada kemudian dimodifikasi, seperti kaleng bekas, dus sepatu atau kotak pensil, kemudian dimodifikasi menjadi fungsi kamera.

Kini komunitas lubang jarum di Bandung, bahkan menawarkan bentuk kamera rakitan yang didisain sendiri. Ragam kamera ini bisa berbentuk silinder, segitiga, memanjang, setengah lingkaran, multi lubang hingga variasi panjang fokal bervariasi. Ini membuktikan bahwa LJ membuka pintu kebebasan untuk berkreasi tanpa batas. Dititik inilah kreatifitas dimulai. Setiap karya yang dihasilkan LJ akan selalu beragam, bahkan “cara gagal” pun bisa dimaknai unik dan menarik. Entah itu defraksi cahaya, over ekspos, cahaya bocor atau apapun, selalu membuat karya tersebut berbeda. Tidak perlu di “edit” lagi, karena Photoshop sudah satu paket dalam kamera rakitannya. Dalam rangkaiannya selanjutnya, imajinasi mengambil alih. Kamera rakitan lubang jarum ini tidak ber-view finder, jadi perlu “komunikasi khusus” antara sipemotret dan kamera buatannya. Bentuk jalin komunikasi ini disebut pre-visualisasi, berlatih mengukur nalar imajinatif, untuk menghasilkan ruang komposisi apa yang akan dihasilkan nanti.

LJ adalah sangat bersifat individu, setiap karya yang dihasilkan selalu berbeda, meskipun dengan tata cara teknis yang sama, tetap saja berbeda. Bahkan LJ menawarkan rangkaian metode yang sangat pribadi, tidak seperti DI, penuh dengan kemungkinan “copy-paste”. Sebut saja beberapa karya alih rupa DI, dengan mudah dobongkar, karena menggunakan metode yang sama, sama-sama mengandalkan software umum dan standar yang baku. Lihat saja beberapa karya fotografi hasil paska produksi DI nyaris mirip dan sama, baik itu untuk lomba foto, pajang karya di jejaring sosial atau karya komersial.

Nilai berbebeda ini memosisikan LJ penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa ditiru secara seksama, karena LJ tidak pernah bersandar pada “standarisasi” umum yang berlaku. (denisugandi@gmail.com)

Wednesday, June 9, 2010

MENELANJANGI PLAGIAT SEBENARNYA: Mengupas plagiat dalam fotografi dari tema, gagasan dan bentuk

Isu plagiat, yang selalu berkonotasi seram ini, selalu mampir dalam berbagai wacana seni. Dalam wahana fotografi, kegiatan meniru dan menjiplak tersebut, hingga kini masih dalam batas abu-abu. Sampai sekarangpun, belum pernah ada kajian khusus apa itu plagiat atau bukan. Saya sendiri mencoba menyelami persoalan ini, menggali kembali peristiwa seperti ini yang pernah diungkap di media masa, dengan konteks untuk kebutuhan kompetisi fotografi.

Kembali pada tahun 1997, pada saat penyelenggaraan Salon Foto Indonesia (Foto Media, April 1998) pihak panitia dan juri menerima karya yang disebut plagiat. Tiga karya Okky Adiwijaya dinyatakan menjiplak, meniru kemudian menerbitkan dalam kontes fotografi nasional, SFI tahun 1997. Diantaranya karyanya dengan judul “Lover” peraih medali perak pada SFI ke-18 tahun 1997, yang ternyata sangat persis dengan karya foto Daniel J. Cox, dari sebuah artikel “How Pros Photograph Animals” pada majalah Popular Photography edisi Agustus 1996.

Begitu pula terulang, pada tahun 2000 lalu, karya Dedy H. Siswandi juara pertama untuk kategori Momokrom, dengan judul “Swimmer” pada SFI ke-21, disinyalir benar-benar meniru karya fotografer Choo Chee Yoong yang pernah diterbitkan dimajalah Photo Asia edisi Januari 1996.

Pada International Photo Contest, yang diselenggarakan oleh BINUS, tahun 2009, kembali tuduhan plagiat tersebut muncul. Kebebasan bersuara melalui jejaring sosial, Ricky N. Sastramiharja menyatakan dengan keras, bahwa karya Sutanta Aditya Lubis, sebagai pemenang lomba BINUS 2009 untuk kategori umum, adalah mirip dengan karya James Nachtwey, dengan judul “ Chechnya, 1996 - Ruins of central Grozny"

Sekali lagi, belum pernah ada kajian khusus. Baik itu dari fotografer senior pendahulu kita, seperti Alm. Kartono Ryadi, Santoso Alimin, Edwin Raharjo, Ir. Goenadi Haryanto, Stanley Bratawira, Paul I. Zacharia, Tubagus P. Svarajati, Budi Darmawan, Alm. K.C. Limarga, Solichin Margo, Aslam Subandi, Oscar Motuloh, jim Supangkat (baca Foto Media 1998 & 2000) tidak pernah menyatakan analisis khusus apa itu plagiat. Semua yang tertulis dalam artikel Foto Media tersebut hanya opini tanpa ada usaha untuk menjelaskan lebih dalam lagi persoalan ini. Sungguh sangat disesalkan, pekerjaan rumah ini belum pernah tuntas hingga kini, semenjak fotografi hadir pertama kali, menginjak tanah Batavia sejak tahun 1840.

Mengupas apa itu plagiat dan bukan tentunya memerlukan parameter tertentu, sehingga akan mudah untuk berpijak. Sistem menyamakan pemahaman terlebih dahulu adalah cara yang paling adil, dalam menilai apakah ini termasuk atau tidak. Arti plagiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online) http://pusatbahasa.diknas.go.id, yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI mempunyai arti demikian:

pla·gi·at n pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, msl menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.

Dalam konteks visual fotografi bisa berarti meniru gagasan karya orang lain, kemudian menyatakan bahwa gagasan tersebut menjadi miliknya. Ini baru tahap gagasan saja, belum dilihat dari bentuk. Gagasan tersebut bisa saja ditiru karena faktor kognitif, sensasi-persepsi, memori dan imajinasi dalam melihat dan mencerap foto-foto yang pernah dilihat sebelumnya, kemudian dihadirkan kembali dalam bentuk gaya yang berbeda.

Bagaimana plagiat itu dikupas?

Perlu dipahami terlebih dahulu batasnya. Kita yakini terlebih dahulu bahwa dalam proses penciptaan karya tidak ada gagasan original. Sebaliknya, meniru nyaris sama itu pasti sangat memungkinkan. Jadi plagiat atau bukan akan mudah sekali dikupas. Cara apresiasi awal suatu karya foto ialah dengan mendeskripsikan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu obyek foto (subject matter) meliputi di dalamnya adalah menyebutkan karater obyek-obyek yang muncul didalam foto tersebut; orang, benda, tempat atau kejadian/peristiwa yang terjadi.

Visual elemen atau unsur-unsur yang menyusun, mengatur dan membangun foto sebagai berikut: titik, garis, bidang, bentuk, cahaya, warna, tekstur, massa, ruang dan volume disebut bentuk dan teknis (form). Deskripsi tersebut dapat dilihat dari rentang nada (shades of gray/tonal) hitam ke putih, kontras obyek, kontras jenis film/negatif (noise untuk digital) kontras kertas, format film, sudut pandang, jarak obyek, lensa yang digunakan, pembingkaian, ruang tajam, tingkat ketajaman fokus dan sebagainya.

Media. Material pembangun karya foto tersebut. Misalnya cetakan momochrome dengan menggunakan media kertas cetak tertentu, dengan proses lanjutan (paska-produksi menggunakan teknik digital imaging). Deskripsi media pun meliputi seluruh aspek yang turut membangun terciptanya ekspresi seniman pada karyanya, serta dampak yang timbul pada pelihatnya.

Terakhir adalah melihat dari gaya/style. Adalah menyangkut kondisi sosial-politik-ekonomi dan semangat jaman saat itu (zeitgeist) termasuk didalamnya gerakan seni, periode waktu serta faktor geografis, yang memperngaruhi proses penciptaan karya. Ciri seperti ini bisa dikenali dari obyek foto, teknis pemotretan dan media foto.

Mengupas tuduhan palgiat Sutanta Aditya Lubis versus James Nachtwey

Dua anak, dengan menggunakan lensa lebar, memenggal separuh kepala anak tersebut. Point of interest gambar ini bukan anak tersebut, tetapi informasi yang terkandungnnya, lingkungan dalam gambar ini menjelaskan, sama-sama sebuah produk perang; James Nachtwey menjelaskan kehancuran sebuah kota di Central Grozn di Checnya tahun 1996 (Dengan judul Ruins of Central Grozn), sedangkan karya Sutanta Aditya Lubis memaparkan “perang” himpitan ekonomi di pinggiran kota. Bila disandingkan, dua foto tersebut memang terlihat sama, baik itu pemilihan sudut pengambilan-dari atas, perspektif yang dihasilkan dari efek lensa lebar atau menghadirkan kepala anak separuh, sehingga si pemotret bisa leluasa mengeksplorasi latar pendukung yang mewakili kekuatan anak tersebut. Ide dan gagasan sama, namun maknanya bisa berbeda.

Tema dan pesan kedua foto tersebut sama, sama-sama berusaha menampilkan sisi realitas manusia yang buram. Sisi buram ini yang saya lihat tidak lagi menampilkan manusia sebagai tokoh sentral atau sebagai subyek, melainkan sebagai obyek dari sistem sosial, budaya, politik dan sistem ekonomi tertentu. Jelas keduanya menggunakan narasi visual negatif.

Bila dianalisa dari alur dan bentuk, kedua foto tersebut nyaris memiliki pola yang sama, pengambilan sudut lebar, dengan demikian dapat mengambil informasi lingkungan yang lebih banyak. Dengan penggunaan lensa lebar, perspektif menuju pada titik yang sama. Bisa diperhatikan garis maya pada karya foto Sutanta, jalur kereta api, menuju titik perspektif yang sama dengan karya Nachwey, deskripsi rentang nada/tonal menggunakan pemilihan paska-produksi hiram dan putih, intensitas cahaya pada saat pengambilan, low kontras dan aspek teknik burning-dodging.

Dalam menterjemahkan gaya, baik Sutanta dan Nachwey, sama-sama menggunakan metode EDFAT, metode yang diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecomunication, Arizona State University. Sebagai metode EDFAT mungkin tepat digunakan sebagai pembingbing dalam setiap penugasan ataupun mengembangkan suatu konsep fotogafi pribadi (Motuloh, Oscar, 1999, hal 6). EDFAT adalah suatu metode pemotretan untuk melatih optis melihat sesuatu dengan detail yang tajam. Tahapan-tahapannya yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah suatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai (Prasetya, Andhika, 2003, hal 26).

Huruf E, berarti “Entire” dikenal sebagai established shoot, ruang luas wilayah pengamatan, “Detail” adalah suatu pilihan atas bagian terntentu dari keseluruhan padangan terdahulu (Entire). Tahap ini adalah saat penentuan Point of Interest. Sutanta mengambil mata anak yang tertutup perban, karena menderita penyakit mata, bermaksud mengantarkan menuju lingkungannya (latar). “Frame” adalah proses membingkai detail yang telah terpilih. Cara pengaturan komposisi, pola, tekstur dan bentuk subyek pemotretan antara dua karya tersebut sama. “Angle” atau sudut pengambilan, sama-sama dilakukan dari atas, top angle, karena kedua fotografer sama-sama tinggi dibandingkan si anak tersebut. Tahapan terakhir dari EDFAT, adalah “Time” tahap penentuan kehadiran anak tersebut (saya berkesimpulan tidak ada upaya pengaturan subyek) pada seting waktu yang sama, sama-sama menggunakan kecepatan tinggi, membekukan gerakan. Hanya pemilihan ruang tajam saja yang berbeda.

Palgiat itu?

Karya Sutanta dan Nachtwey, baik itu dari bentuk, gagasan dan tema, jelas karya ini bila disandikan ada kesetaraan. Persamaan karya ini, ternyata mudah sekali terjadi. Kalau memang Sutanta menyadari karya ini ada kesamaan dengan karya fotografi sebelumnya, yang pernah dikenal publik (dipublikasikan) dan kemudian dihadirkan diruang publik, misalnya dalam lomba foto, tentu saja karya ini harus dipertanggung jawabkan pada publik pula dan Sutanta harus siap menjawab. Hal demikian lumrah terjadi pada dunia jurnalistik, lihat saja karya essay foto Rama Surya “Yang kuat yang kalah” bila dibandingkan dengan karya Sebastian Salgado dalam essainya “An Uncertain Grace” sebagian besar sama dan sebangun (congruent), yang sangat dipengaruhi gaya pemotretan fotografer-fotografer pendahulunya: Henri Cartier Bresson dan Eugen Smith. Sutanta Aditya Lubis terinspirasi karya-karya James Nachtwey adalah sah-sah saja. Tetapi bilamana karya tersebut turut membuka wawasan publik dan kemudian publik bereaksi, karya foto tersebut sudah tidak penting lagi, juga tidak penting lagi berbicara apakah itu plagiat atau bukan. (denisugandi@gmail.com)

Referensi foto:

http://6ix2o9ine.blogspot.com/2010/05/plagiat.html

Wednesday, June 2, 2010

Alih rupa pada jurnalistik: Diskusi fotografi Momentum UNLA, 2 Juni 2010

Sejarah Pinhole di Bandung

Menelusuri kembali kapan jenis kamera tidak menggunakan lensa ini digunakan, harus dilihat dari dua periodisasi; masa kolonial, saat fotografi datang di Indonesia dan setelah perang kemerdekaan, memasuki masa fotografi modern, yang ditandai hadirnya kamera 135mm dan film roll seluloid. Pada periode pertama, hingga kini (penulis. Red) belum menemui penggunaan pinhole fotografi sebagai catatan dokumentasi masa Hindia-Belanda. Berbeda dengan periode setelahnya.

Hadirnya fotografi di Indonesia, tahun 1841 yang dibawa oleh seorang pegawai kesehatan Belanda, Jurrian Munich, belum ada bukti bahwa pinhole digunakan untuk kepentingan dokumentasi Hindia-Belanda. Pada saat itu, Munich menggunakan kamera Daguerretype (berlensa) begitu pula, dengan fotografer penggantinya tahun 1844, Adolph Schaefer tidak menggunakan pinhole untuk memotret patung Hindu-Jawa koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshapen (Lembaga kesenian dan ilmu pengetahuan Batavia)

Bila membandingkan dengan penggunaan pinhole sebagai medium ekspresi seni di belahan dunia lain, akhir tahun 1880-an, di Inggris telah lahir gerakan Impressionist yang diilhami oleh pelukis Monet. Terjadi silang pendapat tentang pendekatan kreasi seni fotografi pada masa itu. Golongan lama lebih mementingkan fokus dan detail tajam dari penggunaan lensa, sedangkan pendapat lain, atau disebut genre piktorialis berusaha menangkap gaya lukisan (baca: impresionist) pinhole pun digunakan oleh seorang seniman tahun 1890, yaitu George Davidson dengan karyanya An Old Farmstead, kemudian dinamai The Onion Field. Karya ini mendapatkan penghargaan pada pameran tahunan yang diselenggarakan oleh Photographic Society of London (Beberapa tahun kemudian dikenal dengan Royal Photographic Society) yang kemudian melahirkan seniman-seniman fotografi piktorial. Pinhole fotografi kemudian banyak diminati semenjak tahun 1890-an. Kamera diproduksi dan dijual masal di Eropa, Amerika dan Jepang. Kamera ini laku keras, hingga terjual 4000 kamera di London tahun 1892. Pada masa itu, kamera jenis ini sama dengan kamera sekali pakai.

Memang sangat sulit sekali melacak kembali, apakah pinhole digunakan seniman fotografi awal tahun 1920-an di indonesia. Hingga kini, belum ada penelitian khusus tentang ini. Termasuk satu klub fotografi tua di Indonesia, Preanger Amateur Fotografen Vereeniging, PAF-V. Klub penggemar fotografi pertama di Indonesia adalah Eerste Nederlandsch Indische Amateur Fotografen Vereeniging (ENVIAF) di Jakarta Kota (Harmoni dan sekitarnya, dahulu dikenal dengan kawansan Weltedreven).

Periode berikutnya, setelah pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, tahun 1954, PAF Bandung hadir kembali, kemudian tahun 1957 di Indonesiakan oleh R.M. Soelarko, menjadi Perhimpunan Amatir Foto.

Pada masa sebelum dan sesudah perang, masa awal kebangkitan kembali PAF, pinhole bukan media ekspresi seni bagi PAF. Bisa diindikasikan dari catatan dalam bulletin PAF semenjak tahun 1957 hingga kini, tidak pernah ada bahasan mengenai pinhole fotografi secara spesifik, baik itu untuk lomba foto bulanan, maupun dalam diskusi klub. Hanya ada satu tulisan saduran khusus yang membahas alternatif fotografi, dibahas oleh alm. R.M Soelarko; tentang photogram. Diduga, pada masa itu pinhole hanya dilakukan secara individu. Hingga pada tahun 1996, sebuah gerakan paguyuban fotografi di Bandung, yang menamai dirinya Forum Fotografi Bandung, belum melirik pinhole sebagai medium alternatif seni fotografi.

Kelahiran Pinhole di Indonesia
Kebangkitan pinhole masa kini, ditandai dengan hadirnya kembali seniman-seniman fotografi, yang menggunakan medium pinhole sebagai media ekspresi seni. Pada pertengahan tahun 1960-an, beberapa seniman dunia mulai melirik kembali penggunaan pinhole. Diantaranya Paolo Gioli dari Italy, Gottfried Jager dari Jerman, David Lebe, Franco Salmoiraghi, Wiley Sanderson dan Eric Renner dari Amerika. Di Indonesia sendiri, pinhole kemungkinan digunakan sebatas eksperimen untuk kebutuhan pribadi saja.

Ray Bachtiar, salah satu seniman fotografi Indonesia, mulai melirik pinhole sebagai medium seni fotografi. Gerakan ini dicetuskan dengan membangun jaringan melalui klub dan penggemar fotografi, yang sebelumnya belum menyukai pinhole. Dari gerakan yang dibangun Ray Bachtiar ini, kemudian dinamai Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJ-I), yang tersebar di 17 kota di Indonesia. Cikal bakal KLJ ini dimulai dari eksperimen media rekam ini sebagai metode edukasi, yang dicoba pada anak-anak SD di Bantar Gebang Bekasi tahun 2001. Pada saat itu didukung oleh Galeri I-see dan bantuan Kedutaan Belanda. Pada bulan September 2001, Ray Bachtiar menerbitkan buku panduan “Memotret dengan Kamera Lubang Jarum” terbitan Puspaswara, yang disusul dengan buku kedua (dalam format majalah) “Ritual Fotografi” terbitan edisi spesial Majalah Foto dan Video Chip Foto Video. Kegiatan berikutnya adalah mendeklarasikan istilah Pinhole dengan Kamera Lubang Jarum (KLJ) disusul dengan “gerilya” workshop non-profit Jawa-Bali hingga Makasar. Tepat tanggal 17 Agustus 2002, mendeklarasikan sepihak, Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI) sebagai naungan para pencinta KLJ di Indonesia.

Bila diluar negeri, pinhole merupakan kurikulum wajib yang diajarkan pada akademi maupun jurusan fotografi, Di Indonesia pun telah diupayakan hal yang sama. Kini KLJ telah menjadi kurikulum tetap di ISI-Yogya. Diranah senipun, Ray Bachtiar melalui KLJ-nya mencoba diwacanakan. Bulan September 2002, dengan berkolaborasi seni lukis, tekstil dan teater, KLJ diterima sebagai wacana seni, pada event “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” di Bali.

Pinhole di Bandung
Semenjak workshop KLJ pertama di Bandung, tahun 2002 lalu, yang diikuti pula oleh profesional fotografer, pewarta foto, seniman teater, seniman grafis hingga pencinta fotografi di kediaman pendiri Forum Fotografi Bandung, Jirman De Martha, di Lembang Bandung.

Dari workshop inilah, bisa dikatakan tonggak pertama komunitas lubang jarum berdiri di Bandung. Karena dalam bentuk komunitas, relawan yang duduk mengurusi komunitas ini datang dan pergi. Pengurus pertama yang masih setia dari awal hingga kini adalah Deni Sugandi, Julius Tomasowa dan Amy. Kini bergabung Willi, Gilang, Ame dan Kamerapinjaman.com; Rofii, Soge, Gondrong dll.

Seiring tahun berjalan, komunitas inipun mendapat dukungan dari Sekolah fotografi modern Pusat Pelatihan Fotografi Jonas (PPFJ) yang dilahirkan oleh pemilik studio ternama di Bandung, Gunadi H. Selanjutnya, aktifitas pun berlanjut, mulai dari kampus ke kampus, dari workshop mini hingga melibatkan lebih dari 60 orang lebih partisipan. Workshop yang dilakukan pun bersifat pendampingan; diantaranya workshop dua hari bersama Gunadharma-Arsitektur ITB, Arsitektur UNPAR, SMU 25 Bandung, Keluarga Mahasiswa Arsitektur Kridaya UPI dan Enlight Learning Center (ELC) di Taman Ganesha Bandung

Beberapa kegiatan rutin telah dilakukan, mulai dari kegiatan hunting bulanan, workshop kecil hingga pameran bersama, baik itu sifatnya pajang karya, maupun digarap serius. Beberapa media, seperti Harian Umum Pikiran Rakyat telah beberapa kali menampilkan komunitas ini sebagai alternatif berkarya melalui apresiasi fotografi di Bandung. Terakhir, liputan PJTV dalam segmen acara Photocholic dan IMTV Bandung. (denisugandi@gmail.com)

SEBELUM KEHILANGAN MOMENTUM: Pameran bersama Lembaga Pers Mahasiswa Momentum Universitas Langlangbuana

Kampus yang didirikan keluarga besar Bhayangkara ini, rupanya tahun ini ingin pula turut masuk dalam hitungan kampus yang memiliku unit kegiatan mahasiswa aktif. Inilah Unit Kegitan Mahasiswa Lembaga Pers mahasiswa Momentum Universitas Langlangbuana, menyelenggarakan pameran foto bersama tentang hal biasa, “Rutinitas Keseharian” selama satu bulan penuh, terhitung dari tangal 1 Juni hingga 1 Juli 2010.

“Ini sih memang kita bikin di lobby kampus, tujuannya supaya beberapa mahasiswa di kampus ini bisa turut menikmati karya foto kita” buka Dadan Triatna, almumni Momentum. Belajar dari kegitan tahun lalu, yang diselenggarakan di dalam ruang dan sepi pengunjung di kampus Universitas Langlangbuana Bandung. Memang seperti yang saya saksikan, rupanya geliat kampus ini rasanya biasa-biasa saja, seperti memesan makanan yang lupa ditaburi garam.

Meskipun tidak lagi mempunyai tanggung jawab akademis, gelisah Dadan Triatna, Budimansyah dan kawan-kawan yang lain rupanya tidak ingin melihat kegiatan dan apresiasi mahasiwa-mahasiswi kampus ini tidak dihapus dari peta kegiatan fotografi kampus Bandung. Mereka adalah penggagas lahirnya unit kegitan mahasiswa ini, yang kemudian dinamai Momentum. Jauh beberapa tahu sebelumnya, memang sudah ada kelompok pencinta fotografi di kampus ini, yang dinamai GOONG, kurang lebih tahun pertengahan 90-an, namun miskin kegiatan, hingga mati suri.

Kini Lembaga Pers Mahasiswa Momentum, ingin dicatatkan sebagai pegiat fotografi. Pada pameran tahun ini, diselenggarakan dari tanggal 1 Juni dan akan berakhir tanggal 1 Juli 2010. Menurut ketua jurusan Ilmu Komunikasi, Eki Baehaki, kegiatan ini disambut baik penyelenggara kampus. Apalagi jurusan ini baru lahir dan melalui pameran ini turut mendongkrat citra jurusan ini. Bentuk apresiasinya adalah turut pula mempermudah masalah birokrasi kampus, serta turtut pula memberikan dana khusus sebagai biaya operasional kegiatan pameran ini. Tentu saja ini adalah rangsangan stimulus bagi kegiatan diluar akademis kampus, tinggal bagaimana ukm ini menyikapinya.

Mengawali kembali adalah hal yang memang cukup sulit. Dibalik segala tuntutan akademis, kegiatan luar mata kuliah mungkin kurang diminati. Hal ini yang menjadi kendala, mengajak kembali berkegitatan. Ini sepeti yang dirasakan Rica Mardiani dan kawan-kawan. Hampir lebih dari dua bulan mempersiapkan pameran, sehingga bisa berlangsung kini. Ada 32 karya yang dipajang ukuran 20x25 cm, diselasar lobby kampus, dari 17 pemotret yang tergabung dari 4 fakultas; FISIP, Ekonomi, Teknik dan FKIP. Pameran in tanpa melaui tahap kurasi, pameran ini digelar suka-suka, tujuan utamanya adalah menggairahkan kembali fotografi di kampus ini. Pada kesempatan kali ini, didukung pula karya-karya dari komunitas penggemar fotografi tanpa lensa, atau lubang jarum, yang tergabung di kamerapinjaman.com, dengan tema bebas.

Pada pameran ini, konten foto biasa-biasa saja, sesuai dengan tema mereka “Rutinitas Keseharian” mengangkat sesuatu yang sudah biasa terjadi, namun sayang dibeberapa karya ditampilkan dengan pemilihan sudut yang datar, tidak menggali dan memaknai kembali arti rutinitas itu sendiri. Bila dilihat keseluruhan, tampak foto dokumentasi biasa.

Keseharian yang dimaksud adalah portrait profesi yang banyak dan mudah dijumpai, seperti petugas parkir, tukang sampah, ibu-ibu yang berjualan nasi, dan sebagainya. Sangat disayangkan, jarang ada karya yang mengekplorasi bentuk keseharian yang luput dari pengamatan sehari-hari. Malahan Dudi Sugandi, redaktur foto Harian Umum Pikiran Rakyat, prihatin dengan kurangnya pendalaman reportase pada saat pengambilan gambar. Mahasiswa yang menyertakan foto pada pameran ini hanya “sekedar” membidik dan memotret (baca: snapshoot). Opini ini disampaikan pada acara diskusi foto jurnalistik, tanggal 1 Juni 2010, dalam rangkaian pembukaan pameran foto.

Bagi saya, yang perlu diapresiasi adalah ada keinginan dari pihak kampus, yang notabenenya sangat gersang melaksanakan kegiatan fotografi. Memang ada usaha-usaha untuk lebih mendalami lagi, namun yang lebih terpenting lagi adalah membuka lagi saluran-saluran diskusi, yang tentunya akan saling memperkaya intelektual diluar akademis yang wajib diikuti pada perkuliahan. Saya berkeyakinan, unit kegiatan mahasiswa Lembaga Pers Mahasiswa momentum kini sedang menggeliat, hanya perlu meluaskan jaringan dan bergaul, membuka forum diskusi dengan dengan unit kegiatan mahasiswa diluar kampus Universitas Langlangbuana, sebelum kehilangan momentum. (denisugandi@gmail.com)

Thursday, May 27, 2010

SIAPA TIDAK KENAL SINAR BARU? Studio foto terkenal milik Tan Tjiauw Hong

Studio mungil di ujung jalan Jalan Raya Barat pasar Andir itu tidaklah pernah sepi. Studio foto ini memang sedang mekar merekah, bahkan pelanggan rela mengantri dan mengambil nomor. Inilah studio paling diminati masyarakat Bandung pada masanya, melayani pas foto, foto studio dan foto panggilan. Jasa layanan foto yang didirikan oleh Tan Tjiauw Hong tahun 1964.

Jauh sebelum tahun 60-an, Tan Tjiauw Hong belajar cara teknik fotografi, artistik hingga kamar gelap pada Lan Ke Tung, pemilik studio foto Lovely di jalan Dewi Sartika Bandung. Perlu diketahui bahwa, pada masa itu informasi atau literatur tentang fotografi sangat sulit, bila ada, itupun dalam bahasa Belanda. Sehingga menjadi ahli fotografi sangatlah langka dan mahal. Menurut keterangan Tan Tjiauw Hong, pada masanya, belumlah ada sekolah dan keahlian memotret dan memroses dikamar gelap. Inilah ciri studio foto pada masa kolonial hingga setelah kemerdekaan, menggunakan manajemen tradisional yang melibatkan keluarga kemudian pengetahuan fotografi itu diwariskan pada keturunanya.

Mengawali karir di kota Cirebon, setelah belajar dari Lan Ke Tung. Ia mendapat tawaran dari keluarga besarnya, ia membuka studio jasa layanan pas foto di dekat bioskop Paradise kota Cirebon. Dari studio inilah, Tan Tjiauw Hong mengasah keterampilannya, baik itu cara memotret menggunakan sheet media rekam yang masih menggunakan sheet plastik 9x12cm, hingga meracik sendiri obat developer dan larutan kimiawi penetap/fixer, untuk proses kamar gelap. Terhitung hampir lima tahun lebih ia berhasil dan sukses, hingga jasa pas fotonya diminati masyarakat Cirebon. Karena mengaku cukup melelahkan, karena harus pulan dan pergi Cirebon-Bandung, maka ia memutuskan untuk kembali ke kota Bandung.

Tahun 1964, dengan bekal keterampilan dari cirebon, dibantu keluarga, ia mendirikan studio foto di Jalan Raya Barat (kini Jalan Asia-Afrika) Andir Bandung. Ia meilih lokasi ini karena pada masa itu, kegiatan ekonomi di kota Bandung berada disekitar Pasar Baru-Jalan Raya Barat-Andir. Pemilihan tempat ini kelak turut menentukan keberuntungan studi foto miliknya, yang kemudian dinamai Sinar Baru. Sesuai namanya, layanan jasa studio foto dan pas foto bersinar terang, hampir seluruh masyarakat Bandung pernah menggunakan jasanya. Pada perjalanannya, kesuksesan usaha ini, rupanya tidak ditunjang dengan manajemen yang baik, semua kegiatan memotret dan memroses di kamar gelap, hanya dilakukan sendiri. Meskipun dibantu kerabat dekatnya, pekerjaan yang paling penting selalu ia kerjakan tanpa ingin dibantu orang lain, ia hanya memperkejakan seorang asisten dalam proses kamar gelap. Karena keterbatasan fisik dan tenaga, ia menerapkan strategi jam kerja. Buka jam sembilan pagi, tutup jam dua belas siang, kemudian buka jam empat sore hingga malam jam tujuh. Kesempatan istirahat ini, ia manfaatkan untuk memroses di kamar gelap.

Ragam produk yang ditawarkan adalah mulai dari memotret untuk kebutuhan pas foto, hingga proses cetak, ia lakukan sendiri. Pada masanya, ia turut pula mengalami perkembangan teknologi fotografi masa itu, mulai dari penggunaan media rekam dari sheet kaca yang siap ekspose, dijual dalam satu box isi 6 sheet untuk ukuran 9x12 cm dan 18x24cm. Untuk kebutuhan foto studio, kemudian ia menggunakan jenis sheet plastik ukuran 9x12cm dan 18x24cm (ortho), tahun-tahun berikutnya, awal tahun 70-an, ia mulai menggunakan roll film 120mm, untuk ukuran 6x9cm adalah 8 frame dan ujuran 6x6cm negatif untuk 12 frame. Semua material fotografi ia beli di Dragon Photo Suplai Braga (Kini menjadi Kamal Photo Suply). Untuk kamera studio format besar merek Astoria, ia membeli di toko perlengkapan kamera Popular Pasar Baru Jakarta.

Sinar Baru pada masa itu sangat fenomenal, bisa dikatakan, bila belum pernah difoto di studio ini, berarti bukan warga berasal dari kota Bandung. Meskipun ada beberapa studio foto yang menawarkan jasa yang sama, namun hanya Sinar Baru yang paling banyak diminati, dari berbagai lapisan strata sosial masyarakat Bandung. Pada masa itu, studio sejenis dalam kurun waktu yang sama adalah Goodland di samping hotel Savoy Homann, Bek Ik Tjiang di jalan Kebon Jati, Lok Hwa dekat bioskop Capitol Jalan Raya Barat Pasar Andir, Lively (Kini Seni Abadi) di jalan Merdeka depan Hotel Panghegar, Tek Can di dalam pasar Andir, Lovely (Lan Ke Tung) di jalan Dewi Sartika, Aloen Foto jalan Karapitan, Pasific jalan Braga dan Polyphoto di Pasar Baru Bandung.

Hingga lebih dari 20 tahun lebih ia mempertahankan bisnisnya. Anggota Perhimpunan Amatir Foto Bandung dengan nomor anggota 222 ini pun merasa jenuh dengan bentuk usaha ini. Akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkannya kembali, kemudian mengambil pensiun dari bisnis ini dan aktif bergabung di klub foto di Bandung. Dalam catatan administrasi di PAF, Tan Tjiauw Hong adalah anggota paling lama dan masih aktif hingga kini. Boleh dikatakan, sesuai dengan usaha studio fotonya “Sinar Baru” dalam usia 78 tahun pun, ia tetap merasa baru. Ia lah manusia tiga jaman yang masih aktif memotret hingga kini. (denisugandi@gmail.com)

Wednesday, May 26, 2010

WORKSHOP KLJ BALAS DENDAM! KLJ ATTACK II: The Revenge, DKV Universitas Widyatama, 26 Mei 2010

Memang nekat workshop kali ini, kalau istilah Ahmad Afgan Shofyadi adalah “Gabred weh mang!” arti bebasnya mungkin adalah kepalang basah, dalam bahasa Sunda “Kagok edan” Itulah sajian Workshop kamera lubang jarum di DKV Universitas Widyatama, tanggal 26 Mei 2010. Mungkin ini yang dimaksud dengan “balas dendam” pada tajuk kegiatan ini. Sebuah balas dendam kreatif yang digagas Ahmad A. Shofyadi cs dari Enlight Learning Center. Sebuah percobaan, merakit dengan cara melipat sendiri, menentukan focal length/titik bakar api, jarak lubang ke media refleksi dan ukuran lubang kamera lubang jarum.

Memang sulit, mencari padanan “Gabred” dalam bahasa melayu. Mungkin yang dimaksud adalah nekat membuat kamera sendiri. Tidak seperti workshop yang diselenggarakan Enlight Learning Center waktu lalu, kali ini memang benar-benar merakit kamera sendiri dengan menggunakan material dasar dari karton duplek. Pada awalnya sulit dilakukan, namun menarik juga. Bisa dikatakan, inilah salah satu pendekatan workshop dengan membuat kamera sendiri, sepanjang komunitas ini didirikan semenjak delapan tahun yang lalu.

Workshop itu

Pembukaan seperti terncantum dipengumuman yang disebar di jejaring Facebook groups KLJI Bandung, tepat jam delapan pagi, di lantai lima, DKV Universitas Widyatama, jalan Cikutra Nomor 204 A Bandung. Karena dilaksanakan di Bandung, jadi waktu yang ditentukan selalu ditambahi embel-embel “WIB” alias Wayah Iraha Bae. Tetapi tidak masalah, pada akhirnya, semakin hari siang, mulai pula para partisipan berdatangan. Paling banyak dihadiri dari kampus Widyatama sendiri, sebagian berasal dari beberapa kampus dan SMU di Bandung. Semua partisipan merasa penasaran, apa itu pinhole? Bagaiamana bisa merekam gambar. Ketertarikan inilah yang selalu menarik bagi mereka yang belum pernah mencobanya.

Seperti yang sudah-sudah, Deni memberikan pengantar latar sejarah pinhole dunia dan manfaatnya, kemudian disambung Dede Gondrong mengenai tata cara meracik chemical dan proses di kamar gelap. Pada sesi presentasi terakhir, Ahmad dari Enlight menyampaikan ketentuan merakit kamera. Instruksi pertama yang diberikan, memang membuat partisipan yang berjumlah 30 orang lebih terpana. Terutama bagi mereka yang belum pernah mengikuti kegiatan ini sebelumnya. Bagaimana caranya membuat kamera obscura dari selembar karton duplek tebal?

Pada workshop reguler yang biasa dilaksanakan komunitas pinhole di Bandung, maupun di kota lainnya, biasanya menggunakan media kaleng sebagai kamera. Namun wokrshop yang digagas kali ini, memberikan peluang kreasi bagi para partisipan. Tentu saja pihak penyelenggara workshop tidak serta merta hanya memberikan karton duplek saja, namun sedikit memberikan ide dorongan, dengan memberikan beberapa template cara melipat. Tidak terasa, waktu perakitan cukup lama, hingga dua jam terhitung dari pemberian materi. Beberapa peserta bisa mengikuti, ada beberapa yang masih berjuang membuat disain, atau coretan diatas karton duplek. Ini semacam tantangan, daripada menggosok alumunium foil dengan menggunakan ampelas.

Beberapa kali ujung pisau cutter dipotong, rupanya panitia kurang sigap memberikan alas potong. Karena hanya bermodalkan alas ubin langsung, jadi kendala memotong duplek yang ternyata cukup tebal. Dari 30 orang lebih peserta, tampak begitu antusias mengikuti kegiatan ini. Agar mudah dalam pendampingan, maka dibagi menjadi tiga kelompok, yang dipandu oleh Wili, Gilang, Rofii, Dede Gondrong, Deni, Ahmad dan Aceng.

Kreasi membangun bentuk kamer

Berbekal prinsip, kamera terbaik sedunia adalah kamera buatan sendiri! Kamera urang, kumaha urang, yang terpenting jadi! Memang dalam merakit kamera lubang jarum tidak ada ketentuan khusus, selain jarak lubang dan bidang reflektif. Semakin dekat jaraknya, menjadi sudut lebar, begitu sebaliknya, semakin menjauh, maka menjadi tele. Prinsip dasar fotografi.

Dari workshop ini, berusaha memberikan sebuah rangsangan, bahwa bentuk kamera bisa beragam, tetapi yang lebih terpenting adalah tantangan kreasi membentuk refleksi bayangan tersebut melalui bentuk kamera rakitan sendiri. Nilai proses kreatif tidak bergantung pada material yang ada, malahan bisa lebih dari itu, memanfaatkan matererial yang dianggap sudah tidak digunakan lagi, alias menjadi sampah. Tentunya, semangat inilah, yang hendak dibangun dari komunitas ini, bahwa proses kreasi dimulai dari merakit kamera sendiri, dengan melipat, menentukan focal length/titik bakar api, jarak lubang ke media refleksi dan ukuran lubang. Gagasan inilah yang selalu menarik dari lubang jarum, melalui lubang bisa melihat dunia. (denisugandi@gmail.com)

Tuesday, May 25, 2010

MOMEN ARTIFISIAL Catatan pameran bersama JEPRET UNISBA, “Panggung Selebrasi” 8 hingga 30 Mei 2010

Ratusan pasang mata tertuju pada sebuah panggung. Band Indie yang menghadirkan komposisi musik, turut ditimpali aksi musisinya. Sayatan distrorsi gitar menjerit histeris, ditimpali rhythm section-bass dan drum. Kini giliran lead vocal mengerang, mengarahkan microphone pada penonton, bahwa ruang batas sudah tidak ada lagi. Penonton adalah musisi juga, sama-sama larut dalam hentakan musik rock. Itulah sebuah “panggung realita” yang dibangun melalui jepretan kamera, dalam pameran bersama “Panggung Selebrasi” karya bersama Jendela Edukasi Pemotret Bandung (JEPRET) Universitas Islam Bandung, tanggal 8 hingga 30 Mei 2010.

Inilah statement karya bersama, yang dipajang rame-rame disebuah kedai kopi disudut belakang taman Dago, Cikapayang Bandung. Memang bukan hal aneh lagi, kini pameran ditempatkan pada sebuah ruang komersial (menandakan tidak ada ruang yang layak untuk pameran karya fotografi di kota Bandung) seperti kedai kopi ini, yang menyulap dirinya ala kadarnya, menjadi ruang pertemuan bagi pelaku fotografi di Bandung. Bagi pengelola kedai ini, tentunya ini adalah lahan bisnis yang basah, sesuai dengan tag line “belilah makanan di sini, maka pajanglah karyamu”. Tentunya para pelaku fotografer tidak akan merasa dimanfaatkan, bila ruang ini dikelola dan diatur menjadi ruang bersama, sekaligus menjadi-misalnya ruang layak pamer karya.

Menerawang memasuki ruang pameran, ternyata harus melalui meja-meja yang memang diperuntuk bagi pembeli. Tata letak kursi yang seharusnya ditata menarik untuk jalur penikmat foto, nyatanya bertebaran. Malahah beberapa foto digantung diseberang meja dan kesepian tanpa sorotan lampu sama sekali. Sesak dan padat, pada ruang tidak terlalu lebar, rupanya pemilik kedai kopi ini kurang cerdas menata ruang sempit ini.

Memang aneh juga, kedai kopi ini membranding dirinya dengan café photography, nyatanya pengemasan karya, ruang pajang, perlengkapan pendukung seperti lampu sorot, tata letak dan sebagainya, sangat kurang. Bagaimana karya bisa bersorak, bila penyajian pameran saja kurang diperhatikan. Pada akhirnya, karya foto tersebut bukan disebut pameran foto, namun dekoratif penunjang kedai kopi ini. Menyedihkan.

Di sudut bagian dalam, sebagian besar karya dipajang pada dinding yang memang diperuntukan bagi pameran kali ini. Dinding triplek menutupi toilet umum, kemudian disulap menjadi wall art gallery. Lampu sorot tungsten pun kurang cukup menerangi beberapa foto, bahkan sudut sebelah kiri nyaris tidak disoroti lampu. Sekali lagi cara unik menikmati karya foto dalam gelap gulita. Dalam kondisi gaduh dan pengunjung hilir mudik, tentu saja saya harus tabah meraba dan memaknai foto dalam batas waktu yang singkat. Saya berusaha menerka-nerka setiap foto yang tersaji dalam ukuran tiga puluh kali empat puluh ini. Sulit juga memahami karya kolektif ini tanpa ada dasar wacana yang biasa diberikan oleh kurator, sebuah statmen dari kurator.

Dari sekian ratus foto yang dikirim kepada kurator, kemudian dikurasi oleh Firdaus Fadlil yang kini bekerja pada majalah remaja HAI. Dari hasil penelurusan, maka keluarlah lima puluh foto yang layak pamer, menurutnya. Karya ini adalah hasil eksplorasi tiap angkatan 2008, 2009 dan 2010 dari Jendela Edukasi Pemotret Bandung (JEPRET) Unisba. Pameran bersama ini kemudian dikemas dalam tema “Panggung Selebrasi” yang menurut ketua penyelenggara adalah dalam rangkaian ulang tahun klub JEPRET ke-sepuluh.

Mencari tema yang sama, bagi mereka yang mengawali fotografi, pasti mencari bentuk dalam benang merah yang sama. Rupanya, klub ini sangat menyukai memotret live music. Semua karya yang dihasilkan anggota klub ini bertemakan foto-foto panggung, bentuk yang sama ini, kemudian mereka sepakati menjadi tema sentral pameran yang homogen foto panggung musik.

Mudah-mudah gampang, begitulah foto panggung ini (Dalam pameran ini dibatasi untuk pertunjukan foto musik modern, padahal begitu banyak performing di atas panggung yang jauh lebih menarik) Tugas si pemotret adalah memaknai kembali ekspresif lingkungan dan subyek yang berada di panggung. Makna yang dangkal akan mudah dilihat, malahan dalam beberapa karya yang hadir tidak bermakna sama sekali, lebih banyak berbicara teknis. Panggung adalah dunia artifisial, semuanya memang sudah diatur, baik itu dari tata suara, lampu, koreografi hingga busana. Tugas si pemotret adalah merangkum dari semuanya. Bila berhasil, karya tersebut menjadi catatan dokumentasi yang bisa menembus beberapa jaman, lihat saja karya-karya Annie Leibovitz. Hingga media Amerika menasbiskan karyanya sebagai American Pop Culture Icon.

Berhasil atau tidak foto panggung, bermuara pada wawasan sipemotret itu sendiri. Sejauh mana ia bisa “meng-alih wahanakan” statemen si musisi yang dipresentasikan di atas panggung (performing) kemudian dibekukan dalam satu bingkai foto. Kembali lagi, segala kepalsuan di atas panggung pada pentas musik itu memang bisa mengasikan, tetapi juga sungguh biasa-biasa saja, tergantung maunya apa. (denisugandi@gmail.com)

Wednesday, May 19, 2010

ANAK (KOMODITAS) ORANG DEWASA Pameran bersama angkatan 2009 BIDIK Stikom Bandung

Memotret orang tua berkeriput atau anak dini usia itu mudah menebar empati. Keluguan si anak yang dibidik kamera, biasanya lebih naif si pemotret itu sendiri. Sepertinya, ia (pemotret) ingin melihat ekspresif anak dari sudut mata mereka, sebagai orang dewasa. Padahal, anakpun mempunyai perkspektif sendiri yang jauh berbeda dari mereka (orang dewasa). Bagaimana, 10 pasang mata angkatan 2009 BIDIK fotografi STIKOM ini, memaknai kembali keluguan anak dalam visual foto. Apa yang hendak ditawarkan dalam pameran ini?

Masih ingatkah kita, dikejutkan dengan pemberitaan seorang anak usia empat tahun, berperilaku layaknya seorang dewasa. Merokok, berkata yang tidak sepantasnya, malahan si SAS tinggal di Malang Jawa Timur pun sanggup memarahi Setyo Mulyadi dari Komnas Perlindungan Anak. Di Bandung, seperti kota besar lainnya, anak-anakpun menjadi komoditas, alat mencari keuntungan finansial. Apalagi selain menjadi peminta-minta jalanan atau pendamping orang dewasa dalam profesinya sebagai pengamen. Malah bukan rahasia umum lagi, traficking atau perdaganan budak kini di organisir lebih rapih. Melihat beberapa peristiwa di atas, negara melindunginya dengan payung hukum pasal 80 UU Perlindungan Anak tentang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak.

Kekerasan terhadap anak-anak bukan berarti bersifat fisik, bisa pula kekerasan dalam bentuk psikologis. Misalanya seperti contoh diatas, tidak mendapatkan pendidikan, kesempatan bermain, tumbuh wajar dilingkungannya dan layak mendapat perhatian dari orang tuanya. Isu seperti ini selalu menjadi masalah yang belum bisa dipecahkan pemerintah. Apalagi di Indonesia, malahan di negara adi daya seperti di Amerika pun mempunyai persoalan yang sama.

Pada masa lampau, tahun 1908 saat industri kapitalis besar melanda Amerika, Lewis H. Hine, seorang pemotret yang di pekerjakan oleh Komisi Nasional Pekerja Anak-Anak (National Child Labor Commite) untuk melaksanakan kampanye anti-eksploitasi anak di Amerika. Sepanjang tahun 1908 hingga 1912, ia melintasi Amerika untuk mendokumentasikan anak-anak yang dipekerjakan secara tidak layak di dalam industri, pertambangan batu bara, pertanian.

Tahun 1909, ia menerbitkan karya pertamanya dalam bentuk esai foto tentang anak-anak dibawah umur yang dipekerjakan disektor industri. Inti sari dari karya fotonya menggambarkan wajah anak yang direngut oleh industri besar. Karya fotografi yang dianggap mewakili aib industri di Amerika, adalah seorang anak yang sedang menatap keluar jendela di pabrik pemintalan benang. Dari karya foto inilah, senat Amerika kemudian menghasilkan aturan-aturan baru untuk melindungi anak. Lewis H. Hine telah berhasil memberikan kesadaran baru pada pandangan masyarakat Amerika, melalui foto.

Pameran itu
Hujan angin telah membuyarkan rencana besar panitia, menggelar pameran “Detak Cita Kala Beranjak” di sudut kampus STIKOM, lebih tepatnya di bawah naungan tenda awning belakang kampus. Porak poranda tidak berbentuk lagi. Apapun yang terjadi, pameran ini harus tetap berlangsung. Akhirnya lorong kelas menjadi ruang gelar pameran angkatan 2009, Unit Kegiatan Mahasiswa/ UKM BIDIK STIKOM Jalan P.HH. Mustopha 72 Bandung. Pameran ini dibuka tanggal 17 Mei 2010 dan berakhir tanggal 19 Mei 2010.

Pukul 17.30 WIB, pameran resmi dibuka. Sepuluh lampu tunsten menggantung, menerawang sepanjang lorong pendek. 25 karya fotografi yang dicetak ukuran 30×40 centimeter disusun rapih, tanpa dikategorikan khusus, semuanya disusun acak. Mungkin ini adalah pendekatan si kurator, atau keinginan panitia, yang jelas si kurator berutang penjelasan pameran. Tidak ada teks pengantar yang menggiring pengunjung untuk bisa menyelami pajang karya ini. Semua karya foto, kemudian dikurasi oleh Bambang Prasetyo, kakak angkatan di BIDIK STIKOM. Dari beberapa karya yang disetor, kemudian terpilih 25 karya terbaik yang siap pamer.

Seperti yang dijelaskan ketua pelaksan kegiatan, Masnurdiansyah, bahwa pameran ini berawal dari rangkaian kegiatan masa bimbingan dan pendidikan dasar BIDIK angkatan 2009. Jadi semacam tradisi semenjak Unik Kegiatan Mahasiswa ini berdiri tahun 1998 lalu. Setiap tahun diselenggarakan pameran angkatan. Dari 12 orang yang tergabung di angkatan 2009, hanya 10 orang saja yang berpartisipasi, diantaranya; Nadia Sagara Asmara, Lia Amalia, Risanti, Nurul Maulyda Ekaputri, Wanti Puspa Gustiningsing, Chandra Kurnia, Masnurdiansyah, Novrian Arbi, Riyadhus Shalihin, Asep Pupu Saeful Bachri.

Semua karya, diambil bukan dengan metode foto hunting keroyokan. Semua karya hasil pengamatan masing-masing pemotret, kemudian diambil secara individu. Dengan demikian, karya foto pun beragam. Berbeda dengan penyelenggaraan tahun lalu, beberapa foto nampak sama karena menggunakan metode pengambilan gambar bergerombol. Dari lima puluh lebih karya yang diserahkan kepada kurator, hanya 26 foto saja yang lolos dipamerkan. Rupanya mereka belajar dari penyelenggaraan sebelumnya, pamera bersama tiap angkatan serupa tahun lalu di Saung Angklun Udjo.

Karya Risanti, tiga orang anak yang sedang istirahat, karena lelah berjalan kaki dalam rangka karnaval, diambil dengan sudut diagonal. Semuanya tersenyum polos, namun satu anak paling depan mengacungkan jari tengah, sebagai penanda bahasa ejekan, yang belum tentu ia mengeriti arti tersebut. Risanti jelas tidak memprovokasi si anak untuk berbuat seperti itu, namun ini adalah gejala meniru, entah itu dari televisi maupun tindakan yang diperlihatkan oleh orang dewasa.

Upaya anak dibuat seperti orang dewasa berhasil direkam Chandra. Dalam karyanya berjudul “Kekurangan bunlah menjadi halangan” tampak foto anak mengenakan busana daerah Sunda, lengkap dengan Bendo, menatap lensa dengan mata dipicingkan. Si anak terlihat kurang begitu menikmati pakaiannya, karena mungkin terasa panas dikenakan pada siang hari. Ini adalah bentuk keinginan orang tua, yang menyertakan anaknya dalam sebuah kontes karnaval, menghedaki anakanya menjadi pemenang. Padahal kehendak anaknya bisa lain.

“Tawa jumawa Pasopati” karya Novian Arbi, mengingatkan saya pada sebuah adegan ketika seorang kepala gangster mengatur strategi, memerintah anak buahya sebelum penyerbuan. Titik momen yang sangat pas, tampak Novian bisa melebur dan dipercaya, masuk dalam jarak yang bisa diterima oleh sekelompok anak-anak ini. Jelas Novian pasti telah melakukan pendekatan sebelumnya, sehingga anak-anak ini beradegan tanpa terganggu. Malahan gayanya pun tidak terprovokasi jarak lebih dekat, karena menggunakan lensa lebar.

Ryadus berhasil merekam seorang anak dengan kebutuhan khusus, yang sedang menunggu orang tuanya. Pengambilan gambar di sekolah berkebutuhan khusus ini sangatlah pas, ketika jeruji yang memisahkan antara ruang sekolah dan luar menjadi penanda pemisah antara dunia normal dan tidak. Judul “Perfect world” turut pula memberikan tekanan, bahwa anak tidak normalpun berhak aktif didunia orang normal.

“Elegi Pembelajaran” karya Riyadus Salihin, memberikan perspektif lain dari tentang komersialisasi pendidikan. Tampak seorang anak, berdiri di bawah naungan poster yang dipegang, yang mungkin orang tuanya, menatap kosong. Peristiwa ini diambil pada saat demonstrasi di depan kantor Gubernut Jawa Barat, dalam rangkaian Mayday, demo besar buruh di Bandung. Riyadus memilih komposisi tepat, framing teks “Stop Komersialisasi Pendidikan” dan wajah si anak perempuan, sungguh jelas pesan yang disampaikannya.

Begitulah fotografi, menyampaikan pesan. Misi inilah yang memang disadari para pemotret ini, yang dibungkus dengan judul “Detak cita kala beranjak”, mempertanyakan kembali, apakah hak dan kesempatan anak-anak kini telah diperhatikan atau tidak? Mari kita simpulkan bersama. (denisugandi@gmail.com)

Wednesday, March 3, 2010

ARTEFAK FOTO STUDIO LIVELY

Ibarat kacang yang tidak ingin lupa dengan kulitnya, museum foto yang digagas oleh generasi ke-tiga dari keluarga besar Djauw, H. Djuhari adalah bukti Toko Potret Seni Abadi turut pula mendokumentasikan perjalanan panjang masyarakat kota Bandung dari tahun 1948.

Lahir dari semangat gejolak kemerdekaan republik ini, Djauw Soe Jan dan istri, Tjin Sin Yoe, mendirikan usaha jasa cetak dan studio pas foto di Bandung. Lokasi yang sangat strategis di dalam kota Bandung, turut pula menentukan perjalanan usaha. Dalam catatan sejarah, dua tahun sebelumnya, Bandung dalam keadaan bumi hangus, palagan pertempuran melawan agresi militer Belanda pertama, 24 Maret 1946. Setelah perang usai, berangkat dari keadaan belum menentu, pasangan suami istri ini melihat peluang usaha; jasa pas foto dan studio foto weding modern pada masa itu. Tahun 1948, Toko Potret Lively hadir, di jalan Merdeka nomor 10 Bandung. Manajemen usaha ini dijalankan oleh keluarga besar Djauw.

Pada mulanya, jasa foto yang ditawarkan adalah menerima pas foto langsung hitam putih. Pengembangan bisnis berikutnya adalah membuka layanan studio foto. Pada masa itu, studio foto belum banyak. Seiring perjalanan usahanya dan kondisi politik pada masa itu, melalui Peraturan Presiden nomor 10 tahun 1959, satu tahun kemudian Toko Potret Lively berganti nama menjadi Toko Potret Seni Abadi. Memasuki negatif foto warna di kota Bandung, tahun 1970-an awal, tampuk kepemimpinan Seni Abadi diserahkan kepada generasi kedua, yaitu J. Jauhari. Dari titik inilah, usaha jasa foto ini memperlihatkan kemajuan. Layanan studio untuk pemotretan portrait, menjadi andalan usahanya. Tidak kurang dari empat tahun, usahanya berkembang pesat.

Dalam kurun waktu 1983 hingga 1985, Toko Potret Seni Abadi telah memiliki tiga cabang di daerah, Seni Abadi II jalan Pasirkaliki 147 Bandung, Tasikmalaya dan Cianjur. Semua cabang tersebut dijalankan dalam satu manajemen yang masih terikat dengan kekerabatan. Beberapa tahun kemudian, membuka cabang baru di Sumedang jalan Mayor Abdurachman nomor 26, tahun 1991.

Kini Seni Abadi telah menempati bangunan yang baru, di jalan Wastukencana nomor 87 Bandung. Ibarat kacang yang tidak ingin melupakan kulitnya, satu sudut ruangan luar digunakan untuk memajang kamera otentik, yang digunakan pada awal generasi usaha ini berdiri. Sesuai tuntutan jaman, bentuk layanannya pun bervariasi, selain menerima foto studio, juga mengadaptasi sistem pemasaran one stop shoping. Meskipun bukan hal yang baru di Bandung, Seni Abadi masih ingin tetap abadi, semenjak 1948. (denisugandi@gmail.com)

*Ditulis dalam rangka menyikapi bandung berusia 200 tahun

Sumber: L. Christiane

Thursday, February 11, 2010

LEBIH CEPAT DARI CAHAYA; Jasa cetak pas foto kilat Kosambi


Pekerjaan paling aneh yang dilakukan pada masa kini. Selain selalu bekerja dikotak gelap, harga jasa yang terlampau murah dan pengguna jasa semakin pudar. Itulah “Apdruk Poto Kilat” terima cetak kilat, lima menit langsung jadi!

Tangan cekatan itu, menyelipkan negatif format 135 milimeter dibalik bingkai, yang telah dibuat, sehingga foto tampak sebagian saja. Sang pelanggan duduk manis, sambil menghisap sebatang rokok. Ia menutupi badannya dengan menggunakan terpal terbuat dari bagor bekas, yang terpaku di atas atap gerobak, dengan demikian, setengah badannya bisa dianggap “light proof” masuk kedalam kamar gelap. Hanya kaki beralas sandal capit biru saja yang masih tersinari matahari. Nyaris tidak ada suara, entah apa yang sedang ia lakukan, namun imajinasi saya membayangkan, ia sedang mengatur fokus, jarak antara kertas foto dan banyangan yang diproyeksikan, dari lensa yang ia beli bekas seharga lima puluh ribu rupiah. Ia bekerja senyap. Kertas buatan Cina ia selipkan dibagian bawah lensa, diatas tatakan yang bisa diatur ketinggiannya, menangkap refleksi bayangan. Tanpa bantuan lampu pengaman (baca safelight, biasanya berwarna merah) ia meraba gambar dalam gelap, hanya menggunakan “perasaan saja” jawabnya. Sebuah lubang yang terletak di bagian atas atap gerobak, berfungsi sebagai sumber cahaya. Tepat sekali, pagi itu cahaya matahari masih bersahabat, masih bisa diajak kompromi untuk pekerjaannya. Ibarat menggoreng kerupuk, gambar pun mengembang di dalam larutan developer. Sedikit senyum muncul diwajahnya, rupanya larutan “agak” kadaluarsa ini masih bisa diajak kerja sama. Bilasan terakhir di ujung ember tua, ya, sudah beres. Ember tua kotor karena larutan developer itu adalah saksi tua, telah ribuan foto warga Bandung telah dicuci didalamnya. Tanpa air mengalir, cukup di rendam dan diulas tangan. Tepat hisapan batang rokok terakhir pelanggan, menandai proses cetak-foto telah selesai, uang tiga ribu rupiah berpindah tangan.

Panggil saja Otoy, pemilik nama lengkap Toto kelahiran Tasikmalaya tahun 1972 ini, mengawali karirnya sebatas hanya membantu membilas dan mengeringkan foto hasil cetak dengan petromax (foto disimpan di atas tutup bagian atas petromax) yang telah dicetak kakaknya, Engkos, tahun 1986 lalu. Kini, ia telah memiliki roda sendiri. Tulisan besar “Apdruk Poto Kilat” terpampang paling besar didepan gerobak mungil berukuran satu meter ke satu meter enam puluh. “Apdruk” yang dimaksud adalah bahasa serapan dari bahasa Belanda, Afdruk, dalam kamus besar Indonesia adalah af•druk n cak hasil mencetak film

Untuk urusan modal, bisa dianggap murah, karena teknologi teknik cetak, nyaris tidak pernah berubah dari tahun-ketahun. Dengan modal gerobak kedap cahaya, lensa untuk memproyeksikan gambar dari negatif, kertas foto ukuran 3R dan larutan kimia; Minigrain dan Hypo/Fixer. Pada masa lalu, menggunakan petromax, sebagai alat bantu untuk mengeringkan kertas foto, namun semakin tidak rasionalnya harga minyak tanah, maka metode pengeringan ini tidak lagi digunakan, cukup dilap dengan kain dan dijemur di atas atap gerobak, tunggu lima menit, selesai. Untuk urusan kertas, masih tersedia di jalan Cibadak, Kamal photo suply jalan Braga atau di Amir photo service depan statsiun braga.

Pada tahun tersebut, adalah masa keemasan jasa cetak pas foto. Terhitung lebih dari sepuluh gerobak yang beroperasi di depan kantor pos, Kosambi Bandung, dan sebagian lagi di sepanjang jalan Malabar-Ahmad Yani (pintu rel kereta api). Kini, tinggal satu gerobak saja yang teronggok di depan kantor pos Kosambi. Semua berasal dari luar Bandung, dan diwariskan kepada anak atau adiknya, untuk melanjutakan usaha ini. Sebut saja, Didin, Daim dan anaknya Endang berasal dari Singajaya Garut, Salim dan kakaknya Uwa Ajuh berasal dari Subang dan gerobak yang selalu mangkal di pintu masuk kantor pos adalah milik kakak beradik Engkos dan Toto dari Tasikmalaya. Menurut Ina Junaedi (52 tahun) petugas parkir di depan kantor pos Kosambi, ada sepuluh gerobak yang aktif semenjak akhir tahun 70-an, hingga memasuki tahun 2000, tinggal satu gerobak milik Otoy.

Otoy tidak pernah menyangka, kalau jenis pekerjaan ini telah punah. Karena tiada pilihanlah, ia tetap menekuni pekerjaan ini, demi menghidupi anak-istri di kampung. Lebih dari 23 tahun ia tetap bertengger dengan setia, melayani jasa cetak pas foto. Kotak biru beroda laher besi ini selalu hadir setiap hari. Bila jam operasional selesai, maka roda ini akan mudah dijumpai, terparkir manis di depan halaman kantor pos. Untuk urusan tidur, ia menumpang di dalam ruangan kecil di bagian belakang kantor pos. Demi menyambung hidup, kadang bila sepi pelanggan, ia pun bertugas sebagai penjaga parkir sepeda motor, atau mengerjakan jasa grafir-stempel milik temannya.

Kini habitat “Apdruk Poto Kilat” di Bandung tiggal tiga orang saja. Itu pun sebagian sudah sering tutup. Diantaranya depan kantor pos Kosambi, Sepanjang jalan Malabar (sudah tutup), Depan Poltabes Kota Bandung (tutup), Babakan Tarogong-Kopo depan rumah sakit Imanuel (Sudah tutup), Sukajadi dan satu gerobak di Cicadas. Jelas sudah, semenjak hanphone berkamera (awal tahun 2000-an) jasa ini terpuruk. Bagi industri besar jasa fotografi di Bandung, bentuk jasa ini mungkin dianggap tidak penting. Tetapi bagi kaum marginal, dengan kemampuan ekonomi pas-pasan, jasa ini telah mengantarkan sarjana yang melamar kerja. Ingat syarat lamaran kerja membutuhkan pas foto. Lantas siapa kini yang berjasa? (denisugandi@gmail.com)

Tulisan ini selain dalam rangka pupujieun, juga merangkai kembali sejarah fotografi Bandung dan forum fotografi untuk bandung 200 tahun.

Sumber:
Wawancara Toto, jasa cetak pas foto kilat dan Ina Junaedi, petugas parkir kantor pos Kosambi.