Monday, October 13, 2008

Memetakan hobist fotografi di Indonesia

Semenjak fotografer kolonial menginjak nusantara, di Batavia, Jurrian Munich. Beliau ditugaskan untuk "to collect photographic representations of principal views and also of plants and other natural objects" (Groeneveld 1989). Semenjak itulah fotografi diperkenalkan kepada bangsa pribumi. Saat itu fotografi sebagai alat dokumentasi, berguna untuk merekam, dan memberikan sajian presentasi visual kepada masyarakat eropa, tentang keberhasilan kolonialisme Belanda. Seiring dengan waktu, perkembangan fotografi saat itu telah menjadi bagian dari kebutuhan alam rekam sejarah.

Bergulirnya tampuk kekuasaan Hindia Belanda, hingga masa keemasan 1920-an dimasa era-art nouvo-ke masa art deco, tanah jajahan ini menunjukan kepada dunia luar sebagai wilayah tr

Menangkap emosi kompetisi!


Adalah pertandingan kelas all indonesia star minimoto 2008. Terasa sekali suasana yang dibangun adalah kompetisi! cepet-cepetan, teknik melibas, berm, double jump dan meliuk harus sempurna, kalau tidak, tertinggal beberapa detik-apalagi terjatuh-biasanya kalah putaran. Bila ingin melihat liputan foto, http://picasaweb.google.com/denisugandi/IndonesiaOpenMinimoto2008#

Posisis motret menentukan kepuasan!
Memang sih, dilapangan kesulitan pertama adalah masalah ijin atau akses memotret. Pada event ini Minimoto open 2008, saya sebagai pribadi mendapatkan akses penuh-nuh.. bebas memotret, mengambil gambar dari berbagai angle. Kalau boleh dikata, seluruh lapangan adalah milih saya! nah, saat yang tepat adalah menentukan posisi yang cuocok! Setelah observasi lingkungan trek-apalagi sangat menguntungkan-seluruh penonton berada diluar pagar trek. Ini adalah keuntungannya, tidak diganggu umat. Posisi yang pas adalah; ujung trek paling sudut, bisa menarik garis diagonal. Gunakan lensa panjang-selain mendapatkan efek padat/tampat pembalap seperti dempet-ini dikarenkan efek distorsi dari lensa tele (yang saya gunakan adalah lensa 200mm x 1.6 perkalian faktor sensor kamera) untuk mendapatan suasana lain, bisa menggunakan lensa lebih lebar, kemudian posisikan diri anda dibelokan-berm, yang kiranya sangat aman untuk memotret. karena dengan pendekatan seperti ini biasanya akan sangat berbahaya-apalagi dalam kondisi kompetisi. Selanjutnya adalah baca suasana lapangan dan pembalap.Cari pembalap yang paling atraktif- biasanya jumping dengan dengan tangan melambai. cari pula persaingan memperebutkan dilingkaran tiga besar, pasti lebih seru. (deni2008)

PETA SINGKAT RANGKAIAN SEJARAH FOTOGRAFI DI BANDUNG

Melihat kembali ruang fotografi yang katanya egaliter, semua orang mempunyai akses dan kesempatan yang sama, namun selalu ada hal yang luput diperhatikan. Sejauh ingatan menerawang kembali ke belakang, ketika fotografi tradisional hadir di Bandung, pasangan bersaudara Woodbury dan Page, yang menurut saya adalah pebisnis fotografi dokumentasi pertama, yang menginjakan kaki di tatar Bandung. Kala itu, dua bersaudara tersebut mendapat titah mendata dengan menggunakan media visual fotografi, sebagai bahan laporan proyek jalan pos Anyer-Panarukan, tahun 1860-an.

Satu abad kemudian, fotografi di Bandung dibesarkan oleh amatir, yang tergabung dalam satu klub dinamai Preanger Amateurt Fotografi Vereneging, yang kemudian di-Indonesiakan, sesuai ketentuan pemerintahan Soekarno, tahun 1957 berganti nama menjadi Perhimpunan Amatir Foto Bandung, oleh RM. Soelarko, dengan bentuk logo yang dibuat oleh Harmoko. Genre yang diusung adalah pictorial. Mengadopsi genre yang disebarkan oleh artis di Amerika, melalui gerakan Secession, yang digairahkan oleh Alfred Steiglitz, seorang imigran keturunan Jerman-Yahudi. Aliran ini percaya bahwa fotografipun bisa bersanding dengan seni lainya. Ini menjawab, masa itu Kodak telah menghadirkan kamera satu kali pakai dengan ukuran kecil, sehingga setiap orang mempunyai hak yang sama, dengan harga murah tentunya. Kamera adalah sangat demokratis, awal tahun 1881.

Steiglitz menjawab, gerakan yang ia bangun adalah karyapun harus melalui sentuhan tangan. Maka karya tersebut benar-benar di retouch ulang, dalam kamar gelap, untuk mendapatkan efek-efek tertentu.

Kembali ke kota Bandung. Masa gairah fotografi di Bandung, menurut penelusuran saya, berawal dari kedatangan bangsa kolonial. Akses mendapatkan kamera pada masa itu hanya ada di beberapa kalangan terntentu saja. Hal ini bisa dimengerti, bahwa menekuni fotografi masa itu harus dituntut pengetahuan untuk bisa meracik, memroses dikamar gelap, selain itu informasi belajar memotret sangat mahal.

Fotografi hanya ada dikalangan bangsa eropa, cina dan jepang. Sebut saja, pebisnis fotografi masa itu masih didominasi warga belanda yang menetap di Bandung dan warga keturunan Tionghoa. Hingga masa perang pendudukan Jepang, fotografi di Bandung berbalik. 1942 hingga 1945 adalah masa sulit. Perkembangan fotografi tidak ada, karena semua kamera, perlengkapan penunjang; chemical, kertas dilarang oleh pemerintahan Jepang yang berkuasa saat itu. Bahkan bagi mereka yang melakukan aktifitas memotret, dianggap sebagai mata-mata.

Selepas Jepang, aktifitas fotografi agak longgar. Produsen kamera saat itu bisa berniaga di Bandung, melalui perwakilan agen-agen penjualan. Diantarnya adalah Goodland Photo Suply di Jalan Raya Barat dan Dragon di Jalan Braga. Kamera-kamera yang beredar masa itu adalah buatan Jerman dan Eropa Timur. Kebutuhan kamar gelap; kertas, film banyak tersedia.

Selepas pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia, melalui Konferensi Meja Bundar. Bandung kini berdiri sendiri. Begitu juga dengan kegiatan fotografi. Pada masa ini hanya ada dua bentuk himpunan yang aktif melakukan kegitan memotret. Himpunan amatir yang tergabung dalam PAF, atau sebagai pewarta foto, yang tergabung dalam agensi press. Masa itu hanya ada dua agensi press di Bandung, tahun 1952-1960an, Preanger Agensi Press dan James Photo Agensi Press, yang berkantor di bawah Bank Denis, kini Bank Jabar Banten. (bersambung)