Monday, December 7, 2009

MONUMENTAL HIDUP pameran tunggal fotografi orang gila sebenarnya karya Agung Sukindra


MONUMENTAL HIDUP
Penduduk paling unik di kota Yogyakarta; pameran tunggal fotografi orang gila sebenarnya karya Agung Sukindra

Satu sudut jalan di kota Yogyakarta, poster besar terpampang jelas, wajah ganteng calon legislatif duduk manis, tangan mengepal, lengkap dengan atribut partai dan tag-line tebal Anti korupsi! Pas tepat di bawah poster itu, duduklah dengan seksama, seorang gimbal compang-camping dekil, si gila asli. Kesimpulannya; sama-sama menggila. Portrait cerdas yang berhasil direkam si pemotret, sebagai pengantar pembuka menuju ruang pamer LOOK @ ME, pameran tunggal Agung Sukindra.

Barangkali ada yang belum tahu, seperti apa rupanya orang unik penduduk istimewa Yogayakarta (istilah ini saya pinjam dari tulisan pengantar katalog oleh Romo Budi Subanar SJ.) adalah orang kurang ingatan, pada pameran LOOK @ ME karya Agung Sukindra, di gedung Bentara Budaya Yogyakarta, dipamerkan tanggal 23 hingga 30 November 2009. Pameran tunggal fotografi yang menuturkan bahwa orang gila itu pastilah berpakaian compang-camping, makan sembarangan, kadang murah senyum, punya tabiat mempertontonkan kemolekan tubuh, seakan sepanjang jalan Malioboro adalah cat-walknya dan yang paling terakhir, kadang asik sendiri, sekaligus mempertanyakan “kartu tanda penduduk-nya” mereka. Pastilah, kalau berjumpa dengan manusia unik ini pada suatu kesempatan, reaksi saya pasti biasanya menghindar, mengalihkan tatapan ataupun pura-pura sibuk menyangkal eksistensi mereka, namun tidak dipameran ini, saya tidak bisa memejamkan mata.

Itulah teror orang gila yang berbicara pada karya Agung Sukindra. Entah itu jumlahnya lebih dari duaratus, atau bisa lebih, si penyelenggara pameran pun enggan menyebut secara tepat berapa jumlah foto yang dipamerkan. Entah itu tidak penting lagi bagi dirinya, atau memang sengaja, supaya para pengunjung belajar berhitung. Tetapi saya berkeyakinan, para penikmat foto yang sempat berkunjung di pameran ini pasti berdecak kagum, berapa sebenarnya jumlah foto yang dipamerkan? Banyak nian untuk berbicara bahwa mereka sudah pasti kurang ingatan!

Ratusan foto, mungkin bahkan lebih dari seribu foto stok yang sudah diabadikan Agung untuk kepentingan pameran. Hampir semua karya menggunakan jenis lensa panjang yang membebaskan dirinya (baca: pemotret) bisa mengambil subyek dari jarak jauh. Tampak beberapa jepretan diambil dalam waktu singkat, entah itu karena mereka selalu berkeliaran tanpa jadwal tetap, hingga si pemotret harus berkeliling “hunting” memang, persis sekali seperti petugas sensus khusus mengurus orang gila. Ada satu alasan Agung, rupanya berasal dari sepenggal kalimat dari kitab suci “Ketika aku lapar, kamu tidak memberi aku makan. Ketika aku haus, kamu tidak memberi aku minum. Ketika aku orang asing, kamu tidak memberi aku tumpangan. Ketika aku telanjang, kamu tidak memberi aku pakaian..” (Tulisan pengantar katalog pameran, Catatan Robi Budi Subanar SJ.) inilah yang menjadi api yang selalu membakar dalam gelisahnya ketika memejamkan mata sebelah kanan dan memotret.

Ruangan bentara budaya yang terdiri dari dua ruang; utama dan tambahan, tampaknya penuh terisi dengan foto-foto yang dicetak dengan ukuran yang bingkai bervariasi. Satu sudut berdiri partisi yang sengaja menggantungkan properti baju, celana, kantong plastik, alas tidur dan benda-benda harian mereka. Bingkai itu beragam ukuran, dari ukuran 30x40 cm hingga 2 meter. Begitu pula dengan cara penyajian, ada yang kena sentuhan filter software edit digital imaging, ada pula yang dibiarkan begitu saja. Bahkan cetak warna dan hitam-putih turut bersanding bersama. Semuanya beraduk-aduk, bersama, sehingga saya berkeyakinan, para pengunjungpun disuguhkan nuansa pameran rasa lain, seperti tag-line produk permen; rasanya rame.

Memang tidaklah sempat berdialog dengan Agung Sukindra, kenapa menyajikan gambar gado-gado begitu banyak, dengan jumlah karya lebih dari dua ratus. Pesanpun menurut saya sangat sulit tiba dibenak pengunjung, karena bias. Selain foto yang disajikan terlalu banyak untuk berbicara hal yang mudah (kadang tidak) bahwa mereka terlantar, hidup menggelandang, tidak waras, siapa peduli? dan dipertegas dengan pasal hukum di satu sudut ruang pamer dengan ukuran teks diperbesar. Tetap saja mereka adalah orang gila yang ditelantarkan negara. Agung berusaha menampar siapa saja melalui pameran ini, yang enggan menoleh, apapun yang terjadi, warga istimewa ini tetap membutuhkan perhatian. Apapun terjadi, mereka adalah bagian dari komunal.

Begitu banyak teror foto yang ditebar, akankah pesan yang disampaikan tiba di nurani pengunjung pameran? Karena itulah fotografi, menggugah, menginspirasi sekaligus mencekam. Menurut saya, kuantiti tidaklah penting, jadi kenapa harus repot-repot menggantungkan foto terbingkai dengan jumlah yang banyak, kalau misi yang ingin disampaikan adalah mereka membutuhkan perhatian. Tampaknya Agung berusaha memberondong dengan senapan mesin, tetapi luput, karena pengunjung kelelahan menghitung foto yang dipamerkan. Dalam pameran ini, saya melihat Agung tidak berniat melebarkan persoalan menjadi gila yang dibalut semiotika, perlambang-perlambang, tetapi, monumen hidup ini membutuhkan uluran tangan dari masyarakat sebagai pemiliknya. Pasti tahulah, uluran tangan pemerintah selalu kalah cepat.

Apapun yang terjadi, gila adalah tetap milik orang waras. Karena orang gila itu enggan menjadi waras, karena menjadi waras membutuhkan kegilaan tertentu. Jadi batas gila-waras itu semakin tipis adanya. Agung Sukindra telah menghadirkan gila sebenarnya, walaupun kemasan pameran masih sajikan dalam batas ala kadarnya, mengangkat isu kegilaan selalu menggelitik para penikmat foto untuk melebarkan persoalan itu menjadi dialektika. (denisugandi@gmail.com)

Thursday, November 19, 2009

KLJI di Widyatama, 19 Nopember 2009


Workshop untuk kegiatan ekstra kulikuler ini dilaksanakan atas gagasan temen-temen pengajar fotografi di Disain Komunikasi Visual Widyatama. Dilaksanakan tanggal 19 Nopember 2009, diruang kuliah Dekav Widyatama. Kegiatan yang pertama kalinya ini, tidak kagok-kagok, langsung menghadirkan founder komunitas ini, Ray Bahctiar, dan dibantu staff pengajar, Asep Deni. Kegiatan ini terbuka untuk umum, dan tidak dipungut biaya sepeserpun.

Inilah salah satu tekad pihak penyelenggara kampus, memberikan apresiasinya terhadap perkembangan fotografi di Bandung. Terhitung lebih dari 60 orang turut serta antusias, mengikuti kegiatan ini, diantaranya mahasiswa dan pelajar SMU di bandung. Meskipun hujan deras mengguyur, workshop ini tidak kehilangan semangat, tampak beberapa mahasiswa peserta workshop rela mengambil gambar, dengan menggunakan kamera rakitannya, dibalkon lantai enam! Acara ini akhirnya ditutup dengan evaluasi dan review karya peserta. Seperti bias, hasil karya masing-masing tidak pernah ada yang sama, dan tidak ada hasil yang bagus atau kurang bagus. Karena filosofi kamera lubang jarum ini adalah bukan mencari kesempurnaan.

Sampai jumpa di acara workshop berikutnya. Untuk informasi selanjutnya, gabung di account FB dengan groups: KLJI-Bandung. (Deni Sugandi)

Sunday, March 15, 2009

Sejarah Singkat Forum Fotografi Bandung

Satu komunitas yang didirikan bersama, selain akibat sering kongkow bareng di sebuah suplier fotografi di jalan Braga, Bandung, juga karena kegelisahan yang sama. Sama-sama merindukan ekspresi dalam bingkai seni fotografi. Sebuah alternatif berkesenian “perlawanan nan nyeleneh” yang kemudian dibungkus dalam Forum Fotografi Bandung. Berdiri semenjak 1986.

Bila menengok tonggak sejarah fotografi di Bandung, pastilah menunjuk PAF, dilahirkan oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker pada tahun 1920, dan dibesarkan oleh nama-nama hebat pula. Katakanlah, Soelarko, K.C. Limarga, Husein Tanzil, Leonardi, Dayat Ratman, Setiady Tanzil, Wismanto dan lain sebagainya. Seperti isyarat Deandles ketika menancapkan tongkatnya, dan berkata “Sorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun. Tidak seperti Forum Fotografi Bandung (FFB) yang hendak tidak menancapkan apa-apa, pada awalnya. Tetapi pada akhirnya, sangat layak untuk ditorehkan dalam catatan singkat perjalanaan sejarah fotografi Bandung.

Kongkow-kongkow. Bermuara di sebuah toko tua, suplier alat-alat fotografi di jalan Braga, kala itu bernama Toko Niaga, kini berganti manajemen, menjadi Kamal photo. Dari toko inilah yang sering menjadi tempat pemberhentian sementara, selain sekedar “halte” kala menunggu cetakan foto selesai di Pasific Photo (Sebelah Niaga) juga update informasi teknologi fotografi, kamera, lensa dan film terbaru, juga lambat laun terbentuk menjadi ajang diskusi tidak resmi. Membahas teknologi jenis film terbaru, hingga membahas karya.

Tersebutlah Jirman D. Martha, Ray Bachtiar, Hari “Pochang” Krishnadi, Sjuaibun Iljas, Iwan Sulaiman, Eko Nugroho, Herman Efendi, Iwan Ocay, Saud Hutabarat, Ohan Mahria, Dwi Dharma Yoga, Andar Manik, Marintan Sirait, Yani Dzelug, Yayat Rusmana, Husni Agus, Dadan Hendana, Zaza Fauza, Gino Francohadi dan Donny Rachmansyah (mohon dikoreksi bila belum ada yang disebut) dan bergabung pula ekspatriat (karyawan asing PT. Nurtanio) penggemar fotografi dari Spanyol, Inggris dan Prancis; Dominggo Ballaguer, Niegel, Arnaud Grandgullote. Sebagai tuan rumah, pemilik toko foto Niaga, Ko Ekam, tidak segan-segan memberikan dukungan, diantaranya seringnya membagikan film gratis atau filter Polarizer, sebagai tanda dukungan moral kepada komunitas ini.

Bermodal antusias, maka pada tanggal 3 Januari 1986, gerakan moral ini dikukuhkan menjadi sebuah wadah bersama, sebuah forum komunikasi fotografi, dinamai Forum Fotografi Bandung, di tempat Centre Point (Toko Sepatu Import) jalan Braga Bandung, tempat pertemuan awal terbentuknya FFB, lebih tepatnya tempat tinggal Iwan “Bule” Suherman, yang kelak terpilih menjadi sekretaris umum. Pertemuan selanjutnya dilakukan pula dikediaman Jirman D. Martha, jalan Otista No. 469 Bandung.

Dari pertemuan tersebut, tersusunlah pengurusan baru FFB, sebagai berikut; Penasehat Prof. DR. Komar Kantaatmadja SH. LLM (Alm), Drs. AD. Pirous, Ketua Umum Jirman D. Martha, Ketua I Drs. Ohan Mahria, Ketua II Harry “Pochang” Krishnadi, Sekretaris Umum Drs. Iwan H. Sulaiman, Sekretaris I Sjuaibun Iljas, Sekretaris II Dra Fauwza Armodirono, Bendahara Iwan Rustiawan, Bendahara I Tiarma Dame Ruth Sirait, Bendahara II Maryoko Hadi, Pendidikan Drs. Donny Rachmansyah & Andar Manik, Kegiatan luar Drs. Dadan Hendana dan Bulletin Dra. Lola Shirin dan Hilda Winar.

Forumers! Inilah sebutan bagi anggota FFB. Selain mengadakan petemuan rutin dua mingguan, membahas karya, wacana dan teknis, juga mengadakan hunting bareng. Beberapa model yang pernah bersentuhan dengan forumers adalah Farina, Shanti, Keke Harun dan Ifa. Pergumulan para forumers tidak terbatas disini saja. Terhitung, semenjak terbentuknya FFB, telah tiga kali mengadakan dua kali pameran bersama, satu kali event seminar, partisipasi pameran dan workshop bersama. Ditahun pertama ini begabung pula beberapa forumers baru, dengan cara metode referensi, minimal dari dua orang anggota FFB yang telah terdaftar. Diantaranya bergabungnya Krisna “Cheese” Satmoko, Gerald Adhi, Zaza Fauza, Meiki Prasetyo, Syarief “Bewok” Hidayat, Andre Walker, Isma, Ricky Rukmantara dll.

Ideologi! “Sekelompok anak muda yang memiliki obesesi ini tanpa disadari telah memberi bentuk dan karakteristik kepada kelompok ini, yang senantiasa menjelajahi berbagai kemungkinan yang terpendam dalam dunia fotografi. Paling tidak mencoba memperluas wawasan bahwa fotografi bukan hanya “salon” yang selama berpuluh –puluh tahun bergaung di Indonesia, tanpa meninggalkan kaidah-kaidah fotografi” demikian cukilan dari pengantar di seminar di Seminar dan Workshop Fotografi; Sebagai penunjang bisnis di Indonesia, 7-8 Desember 1990. FFB ini mewadahi ekspresi fotografi, mulai dari kreasi montase fotografi-grafis, karya “nakal”, hingga instalasi foto yang disajikan Ray Bachtiar Drajat. Bisa dikatakan bahwa, FFB ini menawarkan wacana “alternatif” yang belum tentu diterima pakem yang berlaku saat itu. FFB, berusaha “memberikan” tawaran baru cara mengapresiasi fotografi keluar dari kungkungan salonis pada masa itu. Menurut Jirman D. Martha, FFB lahir bukan berupaya menyaingi “klub fotografi” tertua di Indonesia, tetapi turut melengkapi khasanah fotografi Nasional.

Gerakan pembaharu. Debut FFB pertama adalah menggelar pameran bersama “Pameran Foto Alternatif” tahun 1986 di CCF Bandung. Terhitung hampir 100 buah karya forumers yang dipamerkan, termasuk karya kontroversial Ray Bachtiar Drajat, yang mengundang perhatian khusus dari Soelarko. Dilanjutkan tahun berikutnya, 1987, tiga forumers terpilih mengikuti International Woman Photography Exhebition di Eropa. Tahun 1988, untuk kedua kalinya, menggelar pameran fotografi bersama “Pameran Foto Forum Ekspresi” dilaksanakan didua tempat, dengan waktu berbeda; CCF jalan Purnawarman dan gedung PWI jalan Asia-Afrika Bandung. Tahun 1989 bekerja sama dengan Goethe Institute dan Aliance France menyelenggarakan diskusi dan presentasi karya fotografer Jerman. 1989, Lomba foto model CLS dan Lomba foto Ino Fiesta di Bandung. Masih pada tahun yang sama, mengikuti pameran International Photo Fair di Jakarta. 1990, support diskusi bersama Darwis Triadi di Bandung, tahun yang sama, berpameran “Pameran Tunggal’ anggota Forum di Depdikbud Jakarta. 1990, mengadakan Seminar dan Workshop fotografi selama dua hari di Bandung.

Pergulatan eksistensi. Begitulah antusias besar ini, akhirnya disimpulkan dipenghujung tahun 1994! Torehan besar yang direkam dalam catatan sejarah fotografi Indonesia “Indonesia Photographers Gathering” event pertama kali di Indonesia, yang merangkul para antusias fotografi se-Indonesia. Ini adalah puncak semangat forumers, dalam visinya, melebarkan sayap apresiasi fotografi di Indonesia.

Tercatat, hampir seribu orang lebih memadati acara ini; workshop, seminar dan lomba foto. Dibuka secara khusus oleh seorang antusias fotografi, Harmoko, saat itu sebagai Menteri Penerangan saat itu, dan dihadiri pula oleh Alm. Leo Nardi, Back Tohir (Sekretariat negara), Ed Zoelverdi (Jurnalis) Kayus Mulya, Edwin Rahardjo, Darwis Triadi, Ferry Ardianto, Yudhi Suryoarmodjo, Oscar Motuloh (GFJA) B. Boediardjo selaku ketua FPSI. Kehadiran pa Boedi, merupakan “islah” pergulatan panjang pengakuan FFB di dalam struktur FPSI, meskipun untuk beberapa forumers, termasuk bagian FPSI tidak menjadi agenda penting.

Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun forum ini berkurang intensitas pertemuannya. Terhitung awal tahun 1990-an, aktifitas forum ini semakin meredup, karena kesibukan anggotanya masing-masing. Beberapa kali usaha regenerasi telah dilakukan, pada akhirnya upaya tersebut tiba dijalan buntu. Satu catatan kecil yang bisa ditulis; bahwa FFB telah melangkah jauh dari masanya, menawarkan ideologi kritis, bahwa fotografi tidak melulu bahasa teknis, tetapi menerawang mempersoalkan, dibalik foto itu sendiri! (Deni Sugandi)

Sumber: Wawancara dengan Jirman D. Martha, Dharma Yoga dan Sjuaibun Iljas. Booklet FFB Seminar dan Workshop Fotografi Sebagai Penunjang Bisnis di Indonesia (7-8 Desember 1990)

Wednesday, March 4, 2009

Yuyun si Jentreng Kacapi

http://www.facebook.com/album.php?aid=5635&id=1035909978 

usianya yang senja, Yuyun Yuningsih (84 tahun) nenek ini terlihat antusias dan sangat menghayati setiap lantunan lagunya, dengan iringan kacapi degung Sunda karya mang Koko almarhum. Suaranya bergetar, kadang membawa rasa "waas" bagi penikmat karawitan Sunda. Kini, si nenek tua ini bisa dikatakan sebagai legenda hidup kacapi Sunda yang masih produktif di tatar kota Bandung. Kembali pada masanya, ia telah melanglang buana bersama sanggar seni yang dipimpin Upit Sarimanah, diantaranya menjadi pengisi di program acara Mang Koko di RRI Bandung pada tahun 1960-an. Meskipun tidak disetujui suami, dengan dana swadaya, ema Yuyun bertekad mendirikan sanggar seni yang dikelolanya sendiri, dinamai Tritunggal. Akhirnya tahun 1980-an terpaksa ditutup karena faktor finansial dan berkurangnya perhatian generasi muda terhadap seni Sunda. Saat ini, karena kurangnya perhatian dari pemerintah untuk seniman dan seniwati angkatan 1950-an, kini nasib ema Yuyun terlantar. Pilihannya adalah menjadi pengamen, karena harus bisa bertahan hidup. Ema Yuyun bertutur bahwa menjadi pengamen bukan berarti pekerjaan hina, bila tujuannya adalah mengabarkan, bahwa seni Sunda kacapi degung ini perlu menjadi perhatian generasi penerusnya. Dibalik raut tuanya ia berkata bahwa, kebudayaan lokal adalah kekayaan nasional. Siapa lagi yang melestarikan budaya dan seni kalau bukan kita semua. (foto/teks denisugandi)

Bagi ilmu fotografi a’la Prayitno Soelarko; Sejarah singkat ISFD

Dibawah naungan bayang besar sang ayah, RM. Soelarko (Alm), seorang Prayitno berupaya menwujudkan institute fotografi pertama di Indonesia.

 

Jauh sebelum fotografi masuk kampus, dan masuk kedalam silabus institusi atau program khusus, fotografi telah diajarkan secara sistematis di Institute Seni Fotografi dan Disain (ISFD) pada tahun 1979. Beberapa tahun kemudian, ilmu fotografi masuk, sebagai program khusus di Institute Kesenian Jakarta (IKJ Jakarta), pada tahun 1992. Pada tahun yang sama pula, Galleri Fotografi Jurnalistik Antara (GFJA) hadir. Disusul Fakultas Seni Media Rekam ISI yogjakarta, pada tahun 1994. Pada tahun selanjutnya, berdirilah Fakultas Ilmu Seni di Universitas Pasundan, untuk Program Fotografi dan Film, pada tanggal 13 Februari 1996.

 

Berawal dari kursus singkat oleh Alm. RM. Soelarko (meninggal 12 Maret 2005), Jalan Riau 55 Bandung, pada tahun 1971 hingga 1974, dengan nama Fokine. Karena kesibukan beliau, kegiatan kursusnya pun terbengkalai. Kesempatan ini, kemudian dipercayakan kepada putranya, Prayitno Soelarko, sepulangnya dari Sydney (NSW) Australia untuk melanjutkannya. Meskipun tidak dengan secara eksplisit, menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan, namun Prayitno mengembangkannya lebih sistematis. Diakui pula, oleh Prayitno, bahwa selanjutnya, beliau (baca. Soelarko) hanya bersifat simbolis saja, tidak langsung terlibat di kepengurusan manajemen, maupun sebagai staff pengajar tetap. Namun bisa disebut sebagai penasehat, kadang memberikan kuliah luar biasa, atau berbagi pengalaman, meninjau pameran karya siswa, itupun disesuaikan dengan kesempatan dan waktu yang tersedia.

 

Berbekal ilmu fotografi yang didapat dari luar negeri, dan pengalamannya sebagai profesional fotografer, Koresponden majalah musik Aktuil di Sydney dan bantuan pamannya, RM Hartoko, Prayitno meneguhkan niatannya, mendirikan sebuah institusi, yang kemudian dinamai Institut Seni Fotografi dan Disain. Saat itu ilmu disain praktis masuk disertakan. (meskipun beberapa tahun kemudian, kurang begitu diminati)

 

Tercatat, tahun 1979, secara resmi ISFD berdiri, dan bersekretariat di jalan Riau No. 55 Bandung. Manajemen intitusi menawarkan ragam pelatihan fotografi, diantaranya program glamour, comercial art, basic photography, portraiture, cuci cetak foto warna dan hitam putih (Darkroom) Masing-masing program berdurasi dua jam, tiga kali seminggu selama satu setengah bulan. Untuk program fotografi Lanjutan dipegang langsung oleh Prayitno Soelarko, sebagai principal ISFD dan Program Dasar dipegang oleh Staf Pengajar lainnya.

 

ISFD meroket pesat, diawal tahun 1980-an, memberikan training khusus untuk departemen di LIPI, membekali staff-nya dalam rangka penelitian di lapangan. Berikutnya adalah staff humas PT. Nurtanio Bandung. Kemudian Staff Humas Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung. Bukan hanya sebatas segmen korporat, ISFD-pun pernah menangani training khusus untuk 60 orang lebih calon fotografer dari agensi penyalur tenaga kerja kapal pesiar, Cipta Karya Bahari, yang kelak akan ditempatkan sebagai staff fotografi di pelayaran tersebut. Selain Prayitno sendiri yang memberikan training, ada pula staff pengajar yang direkrut ISFD, adalah Sjuaibun iljas dan Soelaiman Abadi (kini mereka berdua tercatat sebagai staff pengajar tetap di Fakultas Seni dan Sastra untuk program Seni Fotografi dan Film UNPAS). Karena masih kekurangan trainer, maka direkrut pula mantan siswa, diantaranya Guntur Primagotama (terdaftar sebagai siswa tahun 1993, dan mulai mengajar di modul basic photography sejak tahun 1994 hingga 1995), Fatra Nugraha, Agus item, Aep dan Zelfi, Herdi Soeharjo.

 

Bisa dikatakan bahwa, sepanjang tahun 1988 hingga 1990 adalah masa keemasan ISFD, untuk program fotografi. Sedangkan program disain tidak begitu berkembang, bisa dikatakan mati suri.

 

Tercatat beberapa nama yang pernah singgah disini diantara lain; Yuyun, Andre Walker, Chandra Ong, Naels, Achmad “Didik” Sadikin (kemudian mendirikan Casual photography di Red Point Advertising, bergerak di komersial) , Guntur Primagotama, Daud, putra Sam Bimbo, Kol. Syarwan Hamid (mantan Mendagri 1998-1999), Yoki Panji Baskara (Hypnosis Photography) , Lydia (fotogafer Maj. Foto Indonesia) dan Dewi (mantan Fotografer Jonas) Mia yang kini memegang penuh manajemen Jonas Banda Bandung, Rama Surya dan beberapa anak dari pemilik lab foto terkenal di Bandung. Dalam perjalanannya, ISFD pun bekerja sama dengan Mayagrafia, agensi model yang melahirkan Cyndhanita Arum, Ni luh Sekar Herdayani, Vera, Ria, Mia, dll. Agensi ini diurus oleh Uchy Prijodipoero (bergabung tahun 1989 hingga 1993), juga merangkap sekretaris manajemen ISFD.

 

Pada tahun1995 siswa ISFD ini menggelar pameran karya Siswa antara lain di Potret (Unpar), Yayasan Pusat Kebudayaan (Jl. Naripan) sekaligus mempertegas kualitas institusi ini, menggelar karya pameran foto bersama di CCF jalan Purnawarman Bandung. Goethe Institut, Landmark Building (Braga). Ada satu kisah unik, bahwa sebagai head of principal, Prayitno Soelarko bermaksud mengganti nama ISFD menjadi Pusat Pendidikan Seni Fotografi Indonesia (PPSF), ketika akan membuka kembali di Jl. Dago.Yang kemudian tidak disetujui oleh salah satu siswa seniornya, diantaranya Achmad “Dikdik” Sadikin. Alasan mendasarnya adalah, nama ISFD telah lama dikenal, jadi untuk mengganti nama, sama dengan re-branding, atau memperkenalkan kembali dari awal.

 

Ketika badai krisis menerpa Indonesia, tahun 1998, ISFD terkena imbasnya. Selain berkurangnya minat siswa untuk belajar fotografi, juga karena kesulitan finansial manajemen. Untuk bertahan, selain mengurangi staff pengajar dan manajemen, seluruh kegiatan belajar pun pindah ke lokasi baru, di jalan Dago (kini jadi pom bensin) pada tahun 2003. Inilah titik balik ISFD. Pada masa itu pun mulai bermunculan sekolah dan kursus fotografi di Bandung. Diantaranya; Stylize Jirman D. Martha jalan Cicendo, Pusat Pelatihan Jonas (PPFJ) pada tahun 1998 hingga 2003, dan berganti manajemen menjadi INOVA School of photography, jalan Dangdanggula 8. Medicourse, di jalan Sultan Agung no.10 Bandung, dan beberapa pelatihan fotografi informal dalam bentuk shortcourse; Seruni photo jalan Merdeka, Sekolah Foto Tjap Budhi ipoeng, PAF melalui yayasannnya dll.

 

Hingga kini, memasuki usia yang 62 tahun, Prayitno Soelarko masih menerima siswa dalam bentuk kursus tertutup dan terbatas, yang kini dilakukannya di rumahnya, jalan Parasitologi No. 10 Cigadung Bandung sampai sekarang. “Selama saya masih mampu, mungkin saya akan tetap mengajar” begitulah celoteh Prayitno, yang kini penggemar tanaman tropis, menutup wawancara. Inilah sejarah yang telah mewarnai khasanah fotografi Indonesia, Institute fotografi pertama di Indonesia. (Deni Sugandi)

 

Sumber:

Wawancara dengan Prayitno Soelarko, Guntur Primagotama, Achmad Sadikin dan Uchy Prijodipoero.

 

Monday, March 2, 2009

Alih Rupa Visual dari Revolusi Bolsevik hingga Sandra Dewi

Disampaikan untuk Seminar di Pameran Foto Bersama SPEKTRUM UNPAD, Gedung PWI Jalan Asia-Afrika Bandung, 17 Mei 2008

Masih ingatkah, atau pasti pernah mendengar atau melihat sebuah foto yang menghebohkan kancah politik nasional? Gus Dur berfoto bersama dengan seorang wanita muda, dengan posisi bukan layaknya bapak kepada anaknya? Pastilah sudah pernah melihat. Atau seorang pesohor pelakon sinetron Dewi Sandra, dengan berkaca-kaca mengatakan di depan media Newstaintment, bahwa foto dirinya yang terpampang, dan bisa diunduh secara bebas di internet, adalah bukan tubuh moleknya. Atau satu lagi, bantahan keras, sama juga, seorang pelakon sinetron, wanita cantik jelita tetapi sudah almarhumah kini, mengatakan bahwa foto intimnya dengan penembang lagu dan front man grup band terkenal, adalah bukan dirinya yang sebenarnya. Semuanya adalah REKAYASA belaka! (Istilah yang saya pinjam dari tokoh Telematika terkenal, Roy Suryo) “ Apa kata dunia” begitulah kalau Naga Bonar di beri kesempatan mengomentari.

Seorang suami, jelas sangat tega, menusuk istrinya berkali-kali hingga mati! (sumber koran Kompas Mei 2008.Red) bukan karena kesulitan ekonomi, seperti yang sering digaung-gaungkan oleh media, tetapi karena masalah sepele. Foto berdua suami istri yang bersangkutan, tanpa ada niat buruk, hanya untuk ide menggelitik, mengganti wajah suami difoto tersebut oleh mantan pacar istrinya, istrinya lah yang melakukannya dengan bantuan seorang “Ahli rekayasa” (sekali lagi saya pinjam istilah Roy Suryo) kemudian foto tersebut di simpan di dompetnya. Akhir cerita sudah pasti mudah disimpulkan, cemburu membakar nalar.

Itu baru terjadi di dalam negeri, kembali masa revolusi Bolsevik di Rusia. Ingat Lenin, orang barat pro Amerika selalu mengolok-olok nama lengkapnya aneh. (Begitluh barat menyikapai revolusi komunis Rusia) ketika berpidato, 5 Mei 1920, untuk membakar semangat kaum proletar, dan pasukan bersenjatanya yang masih loyal, tampat Leon Trotsky dan Lev Kamanev di depan barisan. Tetapi pada babak politik selanjutnya, kedua tokoh politik ini bersebrangan paham denga Lenin, hingga pihak sensor menghapusnya dari foto tersebut.

Bagaiman bila alih rupa visual foto bisa hadir di media masa? Percaya atau tidak, National Geographic Magazine, notabenenya mengharamkan edit alih rupa, ternyata pernah melakukannya! Tengok kaver Februari 1982. Di majalah ini, kulit muka artikel tentang Mesir, tampaklah karya foto senior fotografer NG, Gordon Gahen bergambar Piramid Giza, diedit dengan cara di tarik horinsontal ke dalam, agar cocok dengan format majalah yang vertikal. Tom Kennedy, Director of Photography di NG mengatakan komentarnya, ketika foto tersebut telah di alih rupa “Kini, kami tidak lagi menggunakan teknologi apapun, dengan tujuan memanipulasi element foto agar bisa tampil menarik secara grafis. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal, dan kini kami tidak akan mengulanginya lagi”

Pada bulan Agustus 2006, Adnan Hajj meliput pemboman tentara Istrael terhadap penduduk Libanon. Foto ini dimuat di jaringan Reuters News Agency. Beberapa hari kemudian foto tesebut dibahas di beberapa blog dan news agency besar lainya, ternyata foto tersebut telah di alih rupa digital; dengan menambahi asap hasil pemboman, untuk mendapatkan efek dramatis. Reuters mengambil sikap; mencoret nama Adnan Hajj, dan menghapus lebih dari 1000 fotonya di server Reuters.

Alih rupa, atau tampered dalam bahasa Ingris berarti “To try to corrupt or influence somebody or affect the outcome of something (Microsoft Encarta Student, 2007) terjemahan bebasnya dalam konteks fotografi kurang lebih seperti ini “Usaha-usaha alih rupa (Image) untuk memberikan makna (tersirat/visual) lain, sesuai dengan kepentingan bersangkutan” Kemudian sejak kapan istilah itu diyakini ada? Kenapa? Jawabanya tentunya untuk melindungi kepentingan karir individu, kelompok, partai malahan untuk membuat opini persepsi komunikasi visual sebuah negara! Tidak percaya?

Pada masa kejayaan partai komunis Cina, mereka pernah melakukan alih rupa foto melalui lembaga sensornya. Pada Sepetember 1976, saat upacara pemakaman MaoTse-tong, tampak “Gang of Four” lawan politik Mao, telah dihapus dari foto. Tujuannya demi keamanan nasional kala itu.

Lain dulu lain sekarang, teknologi digital imaging bisa mengupayakan alih rupa tampil sangat meyakinkan, menipu mata. Bagi mata tidak terlatih, sebuah gambar alih rupa bisa menjadi bahan referensi-nya untuk membuat penilaian, ingat suami menmbunuh istrinya gara gara foto berduanya di alih rupa digital? Atau bisa lebih mengerikan lagi? Lantas bagaiman kita harus bersikap? Mana harus kita percayai? Adakah pilihan lain? Begitu dahsayatkah persepsi di dijungkirbalikan dengan teknik alih rupa digital terhadap cara pangdang masyaraktanya?

Jadinya, sebuah visual bisa membuat teror (Deni Sugandi)

Sunday, March 1, 2009

Pameran foto 10rebuan, MURI gtoloh.

Pengumuman!!!! Revisi
Untuk pameran fotografi akan ada revisi ulang dari beberapa acara.

Informasi lebih lanjut silahkan kirim komen atau email (ppaf3_2009@yahoo.co.id),kemudian akan kami kirim sejumlah acara yang telah direvisi ulang. Mohon maklum untuk rekan semuanya!!!
(di ambil dari thread komunitas FN, http://www.fotografer.net/isi/forum/topik.php?id=3194043324)


Salam erat, sahabat fotogarfia!

Menanggapi serba 10ribu, saya jadi "getek" tergelitik dengan istilah pemecahan rekor. tahun lalu, sudah tercapai lebih dari seribu foto berhasil dicapai PAF-TITAN-SERUNI pada Indonesia Photoweek desember, 2007, di Bragacity Walk. Kini kemudian ditawarkan oleh temen temen dari LISMA Fotografi UNPAS, yang nota benenya adalah agent of change! mahasiswa adalah agen perubahan, bagi masyarakat disekitarnya.

Melihat keinginan tersebut, tentunya saya tidak bisa melarang, karena itu adalah wilayah "eksistensi" temen temen di LISMA. yang bisa saya terharukan adalah kesedihan dan keprihatinan saya atas keinginan cara "eksis" nya. langkah dangkal tersebut (mohon maaf bila tersinggung) tidak membuahkan apa-apa, selain secarik surat pengesahan "hebat anda lulus sebagai pemecah rekor MURI" dengan demikian, konten fotogarfi tidak berbunyi.

Kembali, menempatkan fotografi sebagai pilihan cara eksistensi seperti itu rasanya sangat kurang tepat. jadi karya visual tersebut sama dengan karya dekoratif, tidak lebih tidak kurang. pemerkosaan seperti ini sangat disayangkan datang dari kampus, yang sekali lagi, maaf, nota benenya calon para cendikiawan. Fotografi seharusnya bisa membawa pemahaman baru dan mengusung informasi kegelisahan dari dunia kampus, bukan berarti dicetak ribuan, kemudian dibungkam menjadi karya kolektif yang narsistik, MURI gitu loh.

Alkisah, harian umum Kompas, pernah memuat sebuah foto pada Mei 1998, seorang mahasiswi terkapar, tanpa teks penegas, apakah ia mati atau tidak. Sebuah jepretan karya Julian Sihombing, pewarta foto Kompas. Dari foto inilah, diyakini Mei kelabu tercetus! Membuat seorang dikatator kuat, semacam Soeharto bisa takluk. Jelas foto telah membawa perubahan, menyampaikan sebuah pesan, kemudian diterjemahkan menjadi kekuatan sosial. Begitu pula, sebuah karya foto monumental Alberto Kordas! Karena fotonya, Che Guevara di tasbihkan menjadi seorang martir, hingga kini menjadi budaya perlawanan populis.

Kembali menempatkan fotografi bentuk dekoratif sebagai kepentingan untuk meraih rekor 10 ribuan MURI, dan demi selembar kertas sertifikat, pertanyaan saya adalah “..terus apa?” Ketika terjadi, berarti “Kematian fotografi” sedang dimulai. Semoga prihatin. (Deni Sugandi)

Saturday, February 28, 2009

Jurnalistik di gugat di Gedung Indonesia Menggugat

Sebuah tajuk nan provokatif “Standarisasi Foto Jurnalistik di Media” pada sebuah thread komunitas fotografi online, FN. Judul yang menggelitik, memancing, yang seharusnya di ‘gugat” ternyata sepi sepi saja.

“Standarisasi Foto Jurnalistik di Media”Gedung Indonesia Menggugat, Sabtu 28 Februari 2009Pembicara; Oscar Motuloh (Antara) dan Bea Wiharta (Reuters) Moderator: Irma Chantily Diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurnalistik FIKOM UNPAD

Sebuah foto, menggambarkan seorang prajurit Amerika di sebuah bunker di pertempuran Irak, tampak kelelahan. Sang fotografer, memotretnya dalam kondisi cahaya rendah, mengakibatkan gambar menjadi blur, karena long eksposur. Tampak terlihat matanya terbelalak, menatap kosong. Inilah pemenang World Press Foto tahun 2007, Tim Hetherington. “Tegas Oscar Motuloh, dalam penyampaiannya dalam seminar “Standarisasi Foto Jurnalistik di Media” yang diselenggaraka oleh HIMA Juranalistik UNPAD, 28 Februari 2009 lalu. Tetapi kitapun tidak selalu harus bisa menerima begitu saja, tandasnya, seraya memperlihatkan foto nominasi lain, dari fotografer yang sama; Tim Hetherington, (http://www.youtube.com/watch?v=d00_hlRYuE8) foto hitam putih, tentara yang sama dalam kondisi waktu yang berbeda, di tempat yang sama, tergolek lemah, sambil memegang “machine gun” Gambar ini dieksekusi dengan bagus, baik itu secara teknis, maupun “isi” yang ingin disampaikannya. Namun kenapa, juri World Press lebih memilih foto pertama? “Marilah kita gugat, karena kita berada di gedung untuk menggugat” tandas Oscar.

“Awalnya sebuah citra” ketikan rapih yang dituliskan pada slide presentasi urutan petama pada setiap sajian oleh Oscar Motuloh. Diakuinya bahwa kalimat tersebut memang “dipinjam” dari seorang sastrawan Indonesia, setiap ia akan menorehkan puisinya, Sutarji Colsum Bachri. Contekan tersebut kemudian diganti “kata” menjadi “citra” dengan alasan bahwa manusia adalah adalah mahluk visual, begitpula, ketika lahir di dunia, pertama kali adalah ia akan “melihat” ibunya sendiri yang melahirkannya, bukan bersilat lidah ataupun menulis.

Kembali pada catatan sejarah fotografi itu sendiri. geliat fotografi dicetuskan oleh Niepche pada tahun 1839 di Prancis, kemudian masuk ke Batavia, dalam hitungan dua tahun kemudian, 1841. Beberapa tahun kemudian, sebuah media menerbitkan, fotografi petama yang digunakan dalam warta hariaannya di Amerika. Inilah salah satu tonggak sejarah, fotografi dan media berdampingan. Begit pula perkembangan di Indonesia, agency news di kala itu belumlah mendapat perhatian dari pemerintah, termasuk kini, nasib lebih dari 250ribuan plat, negatif foto perjalanan sejarah bangsa, yang dimiliki IPHOSS terkatung –katung nasibnya, karena kurangnya dana untuk melestarikan negatif tersebut (lihat mendur besaudara)

Lain dengan Oscar Motuloh, lain pula dengan penyampaian materi yang diberikan oleh Bea Wiharta. Beliau menegaskan, ketika bergabung di Reuters, ada beberapa peraturan tertulis apa saja yang harus difoto. Sebuah catatan tebal, berhalaman. Beliaupun menuturkan, lima standar dalam jurnalistik; foto news, yang meluputi peristiwa atau kejadian. Kedua adalah Features, foto bebas, berdiris sendiri dan bisa bercerita sendiri. Ketiga foto entertaintment, bisa termasuk gambar-gambar liputan fashion. Keempat foto sport, dan terakhir foto bisnis dan ekonomi.

Ia menuturkan, untuk Reuters, kini pewarta fotopun perlu mengikuti training, sebelum diterjunkan di lapangan. Tercatat hingga tahun 2008, hampir 168 wartawan yang bekerja untuk Reuters meninggal di daerah konflik, entah itu meninggal karena akibat peperangan, maupun yang ditawan. Standar keselamatan para pewarta foto kini sangat di utamakan di Reuters. Sebagai catatan, Bea Wiharta ini lebih dikenal dengan perwarta foto “konflik” dimana ada kerusuhan, konflik, ia lah yang turun. Bisa dikatakan James Nachtwey-nya Indonesia. Pada kesempatan ini beliau berkisah tentang masa-masa peliputannya pada tahun 1989 lalu, saat reformasi dan demo mahasiswa tercetus. Pada saat itu, beliau banyak belajar dari pewarta foto Julian Sihombing, kemanapun ia pergi, Bea selalu menguntit. “Kemana Julian pergi, gue kuntit terus deh” katanya. Singkat cerita, ketika demo mahasiswa mulai reda, mahasiswa kembali ke kampus, dan aparat pun begerak berlawanan arah, pukul empat sore. Pada kesempatan ini, karena lapar, Bea bermaksud membeli nasi bungkus. Begitu beberapa kali suapan, terdengar bunyi letusan senapan, dengan sigap ia pun turut larut, berlari ke arah mahasiswa. Dalam perjalanannya, ia mendapati seorang mahasiswi, pingsan, sedang dibantu berdiri oleh aparat. Beberapa foto pun ia ambil. Pada saat yang bersamaan pula, ia bertemu Julian Sihombing. Ternyata usut-punya usut, Julian-lah yang mendapatkan momen tepat foto mahasiswi tersebut tergeletak terkapar, dan muncul di koran Kompas keesokan harinya. “Saat itu sih gue cuman dapet sisa adegannya” katanya, sedangkan yang lebih beruntung adalah Julian Sihombing, pewarta foto Kompas. Menurut Oscar Motuloh, foto tersebut bisa dikatakan sebagai provokator penyulut peristiwa “Mei 1998” kelabu.

Begitulah, sebuah foto jurnalistik yang “keren” (meminjam istilah Oscar motuloh) adalah informasi yang dapat diterima oleh masyarakat. Lebih penting konten dibandingkan keterampilan teknis, tetapi karya foto yang, sekali lagi “keren” akan dihasilkan oleh itelengensia (baca. Cerdas) si pemotret itu sendiri. Dan tentunya ditunjang pengetahuan dan wawasan tengang; politik, budaya, sejarah dan terakhir adalah teknis. “Tetapi belum siap secara teknis, belum tentu bisa menghasilkan gambar baik” tambah Bea Wiharta. Menurut Oscar Motuloh, pengetahuan foto jurnalistik itu seperti piramida. Dasar dari bentuk segitiga itu adalah “Snapshoot” bagi pemula, kemudian ada Art Photography, adalah bentuk komunikasi visual yang menggunakan bahasa bahasa semiotika, kemudian Advance amatir, dan di ujung puncak piramida adalah foto jurnalistik.

Pada ujung acara seminar ini, ada satu “gugatan” dari seorang Oscar Motuloh, dan bisa dianggap kesimpulan dari rangkaian seminar ini. Pada saat ini, para pemimpin redaksi media tertentu, tidak menguasai jurnalistik, sehingga gambar yang dihasilkan para pewarta fotonya itu itu saja, semacam pengulangan. Ini benar ditambahkan Bea Wiharta, bahwa ini adalah bagian dari peninggalan pendidikan yang berbasiskan kepada tekstual, bukan visual. Inilah menjadi cerninanan foto jurnalistik di Indonesia. Seberapa “cerdas” kah pewarta foto kita, akan tercermin dari hasil karyanya. Tetapi hasil karya tersebut bukanlah dewa, tetapi yang terpenting adalah bagaimana gambar itu bisa mengantarkan perubahan. Dan disitulah foto selesai, mengantarkan tugasnya. (Deni Sugandi)

Wednesday, February 18, 2009

Pengentasan kemiskinan melalui pameran foto

"Pameran foto untuk kepedulian sosial" Empat Mata Satu Mimpi. 50 karya Mike Eeng Naftali dan Moonstar Juntak. Di Bandung indah Plasa Bandung.



Sunday, February 15, 2009

Barang antik! PAF

“.. ternyata di ulang tahun PAF ini banyak juga barang antik yang nongol” begitu seloroh Rifan Mulyawan, sang ketua pada sambutan ulang tahun PAF yang ke 85.

Inilah sebuah perayaan yang telah diselenggarakan di sekretariat PAF, ruko Banceuy Bandung. Terhitung hampir 80 orang hadir, diantaranya dominan para sesepuh angkatan lama. Katakanlah Setiady Tanzil, Prayitno, Gunadi Haryanto, Solichin Margo, Sutrisno, Jusak, Wisamanto, Paulus Suwito, Pa Heru (Kajur Fak. Fotografi dan film Unpas) dll. Hadir di acara ini. Selain temu kangen, rupanya acara inipun sekaligus pemberian hadiah pemenang perunggu Salon Indonesia untuk Sjuaibun Iljas, yang kini menjadi staff pengajar di UNPAS.

Ruangan lantai 2 sekretariat PAF kali ini penuh sesak, tidak seperti biasanya, karena peristiwa ini hanya sekali dalam setahun. Tampak kang Mul dan istri, kuncen sekre terlihat sibuk, begitu pula pa Budi yang setia melambaikan tangan, memberikan komando kepada tamu untuk menaiki lantai dua.

Seperti biasa, mungkin tradisi 85 tahun yang lalu, pemotongan tumpeng oleh para mantan ketua dan ketua PAF kini menandakan puncak acara. Dikomandoi Solichin Margo, tumpeng pun tuntas dipotong secara seremonila dari ketua aktif, Rifan Mulyana, membagikan potongan-potongan kecil kepada para mantan ketua.

Ada satu catatan kecil dari peristiwa ini, adalah testimoni Jerry Aurum (satu angkatan dengan Nugraha) Baginya, PAF adalah tempatnya menemukan kecintaanya pada fotografi. Dikatannya, setelah gagal tidak diterima di ITB, kemudian berencana sekolah singkat di LIKMI (pengakuannya sih karena banyak yang cakep) kemudian terdampar di klub ini. Begitu pula dengan testimoal seorang Aris Munandar, aktif di lomba nasional, yang kemudian harus bertugas di Irian Jaya. Mengatakan bahwa idealis-nya adalah ingin memotret seluruh kebudayaan di Irian Jaya.

Peristiwa kecil lainya adalah kehadiran Pa Prayitno, meskipun sudah sepuh, tetapi beliau tetap segar, dan mewakili almarhum Prof. Soelarko, sebagai penggiat di klub ini. Begitpula Alm. K.C. Limarga yang diwakili istri.

Ada gelitik kecil, ketika menghadiri ulang tahun ini. Ibarat tagline sebuah rokok “usia boleh tua, kalau kelakuan belum tentu” inilah yang terasa di atmosfir klub ini kini. Sudah saatnya PAF harus bisa memodifikasi paradigma kepada anggotanya, setidaknya berkompromi bahwa fotografi bukan milik kalangan tertentu (dalam klub) dan manfaatnya harus dirasakan pula oleh masyarakat. Pada akhirnya inipun akan menjadi pilihan, apakah perubahan itu diperlukan atau tidak, hanyalah waktu yang akan menjelaskan.

Change! Menurut Rheinald Khasali dalam trilogi bukunya tentang perubahan. Berubah sekarang atau tidak sama sekali. Mari kita lihat selanjutnya. (ds)