Tuesday, December 28, 2010

Catatan dari penjurian lomba foto Festival Saparua, 25-26 Desember 2010

“Lomba foto dadakan, hanya tujuh peserta”

Sesuai perjanian, pihak panitia menjanjikan penjurian pukul dua sore, namun entah kenapa, janji itu tidak ditepati. Informasi yang diterima, ternyata memang mereka berencana mencetak foto di sebuah lab foto di jalan Merdeka Bandung, satu-satunya sponsor cetak foto potongan lima puluh persen.

Akhirnya rencana cetak foto itupun di urungkan, jadi langsung saja tiga panitia segera menepi kembali menepati, maka penjurian terjadilah. Bertempat di Surapati Core, tempat Galih Sedayu, panitia tiba dua jam dari waktu yang dijanjikan. Rupanya panitia penyelenggara belum siap, data peserta masih bentuk file, media CD, jadi data harus disimpan terlebih dahulu di hardisk laptop. Singkat cerita, data ditata dipersiapkan untuk penjurian. Sesuai dengan ketentuan lomba, setiap partisipan hanya diperbolehkan mengirim karya tidak lebih dari lima karya, jadi dari tujuh peserta yang turut serta, hanya 35 foto saja yang akan dijuri.

Jumlah peserta hanya tujuh orang saja. Alasan panitia adalah acara lomba foto ini dipersiapkan dalam jeda waktu hanya satu minggu saja. Penyebaran informasipun jadi sekedar basa-basi saja, malahan minus tiga hari sebelum pelaksanaan lomba, informasi belum tersebar luas. Pantas saja jumlah tersebut jauh dari ketentuan penyelenggaraan lomba, dengan embel-embel total hadiah lima juta rupiah.

Jumlah yang menggiurkan untuk lomba foto dadakan. Bukan berarti karena lomba foto kurang menarik, tetapi persoalannya adalah teknis penyebaran informasi yang kurang. Jadi kalau boleh saya simpulkan semacam lomba foto rahasia. Ini bisa dimengerti, karena serba mepet, plus tidak mempunyai jejaring informasi. Memang paling mudah melalui short message service/SMS atau posting di jejaring sosial, para pengguna akun salah satu jejaring sosial dan teknologi pendukung sudah bisa dimiliki siapa saja, bahkan beberapa handphone merek tertentu sudah terkoneksi internet, dengan harga murah pun mudah didapat, bahkan benda kecil ini pun biasa dimana kemana-mana, hingga ruang sangat pribadi, di bilik termenung alias toilet.

Kembali ke penjurian, juri yang terdiri dari tiga orang; Deni Sugandi, Galih Sedayu dan satu orang lagi dari pihak panitia, memilih karya berdasarkan kesepakatan saja. Dari jumlah entri 35 karya, kemudian disusutkan berdasarkan konten menjadi 14 karya, yang selanjutnya menjadi 5 besar. Sesuai dengan permintaan panitia, maka juri memilih tiga karya saja, menjadi tiga besar, masing-masing berurutan. Juara

Melihat motif lomba foto yang kini terselenggara, kompetisi ini termasuk dihadirkan sebagai event pendukung acara utama. Seperti yang dituturkan oleh ketua panitia Maphac, pihak penyelenggara mengajak klub kampus ini untuk mengisi stand yang memang kosong, dengan timbal balik, pihak panitia mendapatkan dokumentasi foto seluruh kegiatan Festival Saparua.

Karena setiap kegiatan Festival Saparua adalah kompetisi; freestyle BMX, skateboard, in-line skating, maka Maphac memutuskan menyelenggarakan pula kompetisi lomba fotografi. Untuk urusan komponen hadiah, pihak panitia Maphac mengajukan proposal ke pihak Rektorat, melalui Pembantu Rektor III, bagian kegiatan. Dari pihak penyelenggara pendidikan, akhirnya meloloskan sejumlah angka untuk hadiah, sedangkan urusan lainya, adalah berjibaku!.

Ciri penyelenggaraan seperti ini memang sering dilakukan oleh pihak penyelenggara berasal dari unit kegiatan mahasiswa/UKM, atau klub foto yang berbasiskan di kampus. Tetapi seharusnya tidak demikian, dalam kondisi seperti di atas, lomba foto itu bukan menjadi pilihan wajib dalam penyelenggaraan kegiatan, masih ada bentuk lainya yang layaknya cocok dengan untuk acara dadakan, katakanlah workshop pemotretan untuk pemotretan bertemakan sport in action yang ada dalam rangkaian acara di festival tersebut. Jadi fotografi bisa ditandem diacara apa saja. Kalau memang lomba foto tidak memungkinkan, sebenarnya tidak perlu dipaksakan. (denisugandi@gmail.com)