Tuesday, December 28, 2010

Catatan dari penjurian lomba foto Festival Saparua, 25-26 Desember 2010

“Lomba foto dadakan, hanya tujuh peserta”

Sesuai perjanian, pihak panitia menjanjikan penjurian pukul dua sore, namun entah kenapa, janji itu tidak ditepati. Informasi yang diterima, ternyata memang mereka berencana mencetak foto di sebuah lab foto di jalan Merdeka Bandung, satu-satunya sponsor cetak foto potongan lima puluh persen.

Akhirnya rencana cetak foto itupun di urungkan, jadi langsung saja tiga panitia segera menepi kembali menepati, maka penjurian terjadilah. Bertempat di Surapati Core, tempat Galih Sedayu, panitia tiba dua jam dari waktu yang dijanjikan. Rupanya panitia penyelenggara belum siap, data peserta masih bentuk file, media CD, jadi data harus disimpan terlebih dahulu di hardisk laptop. Singkat cerita, data ditata dipersiapkan untuk penjurian. Sesuai dengan ketentuan lomba, setiap partisipan hanya diperbolehkan mengirim karya tidak lebih dari lima karya, jadi dari tujuh peserta yang turut serta, hanya 35 foto saja yang akan dijuri.

Jumlah peserta hanya tujuh orang saja. Alasan panitia adalah acara lomba foto ini dipersiapkan dalam jeda waktu hanya satu minggu saja. Penyebaran informasipun jadi sekedar basa-basi saja, malahan minus tiga hari sebelum pelaksanaan lomba, informasi belum tersebar luas. Pantas saja jumlah tersebut jauh dari ketentuan penyelenggaraan lomba, dengan embel-embel total hadiah lima juta rupiah.

Jumlah yang menggiurkan untuk lomba foto dadakan. Bukan berarti karena lomba foto kurang menarik, tetapi persoalannya adalah teknis penyebaran informasi yang kurang. Jadi kalau boleh saya simpulkan semacam lomba foto rahasia. Ini bisa dimengerti, karena serba mepet, plus tidak mempunyai jejaring informasi. Memang paling mudah melalui short message service/SMS atau posting di jejaring sosial, para pengguna akun salah satu jejaring sosial dan teknologi pendukung sudah bisa dimiliki siapa saja, bahkan beberapa handphone merek tertentu sudah terkoneksi internet, dengan harga murah pun mudah didapat, bahkan benda kecil ini pun biasa dimana kemana-mana, hingga ruang sangat pribadi, di bilik termenung alias toilet.

Kembali ke penjurian, juri yang terdiri dari tiga orang; Deni Sugandi, Galih Sedayu dan satu orang lagi dari pihak panitia, memilih karya berdasarkan kesepakatan saja. Dari jumlah entri 35 karya, kemudian disusutkan berdasarkan konten menjadi 14 karya, yang selanjutnya menjadi 5 besar. Sesuai dengan permintaan panitia, maka juri memilih tiga karya saja, menjadi tiga besar, masing-masing berurutan. Juara

Melihat motif lomba foto yang kini terselenggara, kompetisi ini termasuk dihadirkan sebagai event pendukung acara utama. Seperti yang dituturkan oleh ketua panitia Maphac, pihak penyelenggara mengajak klub kampus ini untuk mengisi stand yang memang kosong, dengan timbal balik, pihak panitia mendapatkan dokumentasi foto seluruh kegiatan Festival Saparua.

Karena setiap kegiatan Festival Saparua adalah kompetisi; freestyle BMX, skateboard, in-line skating, maka Maphac memutuskan menyelenggarakan pula kompetisi lomba fotografi. Untuk urusan komponen hadiah, pihak panitia Maphac mengajukan proposal ke pihak Rektorat, melalui Pembantu Rektor III, bagian kegiatan. Dari pihak penyelenggara pendidikan, akhirnya meloloskan sejumlah angka untuk hadiah, sedangkan urusan lainya, adalah berjibaku!.

Ciri penyelenggaraan seperti ini memang sering dilakukan oleh pihak penyelenggara berasal dari unit kegiatan mahasiswa/UKM, atau klub foto yang berbasiskan di kampus. Tetapi seharusnya tidak demikian, dalam kondisi seperti di atas, lomba foto itu bukan menjadi pilihan wajib dalam penyelenggaraan kegiatan, masih ada bentuk lainya yang layaknya cocok dengan untuk acara dadakan, katakanlah workshop pemotretan untuk pemotretan bertemakan sport in action yang ada dalam rangkaian acara di festival tersebut. Jadi fotografi bisa ditandem diacara apa saja. Kalau memang lomba foto tidak memungkinkan, sebenarnya tidak perlu dipaksakan. (denisugandi@gmail.com)

Saturday, November 13, 2010

PHOTOSHOP INSIDE!

Semua yang telah dilakukan fotografi kini, adalah hasil proses panjang penyempurnaan, semenjak diumumkan pada publik melalui karya Niepce tahun 1826 “View from window Le’gras” di Prancis. Bahkan proses alih rupa pertama, teknik montase di dunia, dilakukan Hyppolyte Bayard, tahun 1839, dengan judul karyanya “Self portrait as drown man”, sebagai protes pada pemerintah Prancis yang hanya mengakui Daguere, ketika ia mematenkan penemuannya. Dalam kurun waktu yang sama, di ingris, William Fox Talbot turut menyempurnakan penemuan Thomas Wegwood dan Humprhy Davy, sebuah terobosan metode rekam yang bisa direproduksi berkali-kali; negatif! Hingga tahun 1888, seorang teler sebuah bank di Amerika, merevolusi teknik rekam "You Press the Button, We Do the Rest". Semenjak itu, fotografi sebagai alat yang sangat demokratis.

Dari rangkaian peristiwa di atas, jelas bahwa fotografi kini adalah hasil penyempurnaan dari para pelaku, mulai dari ahli kimia, fisika, optis, mekanik hingga antusias. Semuanya menuju satu titik, sama-sama mempermudah proses pemotretan secara teknis. Lantas bagaimana kelanjutannya kini?

Semenjak awal tahun 2000, fotografi menjadi bagian penting proses fotografi posmodern. Semakin mudah, murah dan meriah. Begitu juga digital imaging (baca: paska-produksi), bagian dari teknologi ini yang memungkin untuk “bisa berbohong” dengan sekejap, dengan software editing yang beragam. Tidak ada batasan kreasi, selama mempunyai perangkat software dan hardware yang memadai. Semuanya serba mudah dan cepat. Dengan demikian, apalagi yang dicari oleh fotografi? Apakah fotografi sudah mencapai titik tertinggi? kehilangan tantangannya? Jawaban seperti ini, rupanya hinggap di komunitas lubang jarum Indonesia.

Komunitas yang lahir akibat fotografi digital dan digital imaging delapan tahun yang lalu, ingin turut “mempertanyakan” kembali fotografi sebenarnya, tentunya kebenaran yang diyakini versi komunitas ini. Sejatinya makna yang terkandung didalam digital imaging (DI) sama saja dengan proses kreatif lubang jarum (LJ), karena teknologi kini menyerap kaidah fotografi tradisional, namun yang membedakan adalah hanya medianya saja. Dalam DI, segala sesuatunya selalu berlandaskan kecepatan waktu proses dan ketepatan, sedangkan LJ sebaliknya, bahkan bisa diluar dugaan. Bila berpijak pada proses kreasi, tentunya LJ lebih kaya dibandingkan DI. Dengan prinsip “membuat, bukan membeli” lubang jarum lebih egaliter. Berawal dari bentuk yang sudah ada kemudian dimodifikasi, seperti kaleng bekas, dus sepatu atau kotak pensil, kemudian dimodifikasi menjadi fungsi kamera.

Kini komunitas lubang jarum di Bandung, bahkan menawarkan bentuk kamera rakitan yang didisain sendiri. Ragam kamera ini bisa berbentuk silinder, segitiga, memanjang, setengah lingkaran, multi lubang hingga variasi panjang fokal bervariasi. Ini membuktikan bahwa LJ membuka pintu kebebasan untuk berkreasi tanpa batas. Dititik inilah kreatifitas dimulai. Setiap karya yang dihasilkan LJ akan selalu beragam, bahkan “cara gagal” pun bisa dimaknai unik dan menarik. Entah itu defraksi cahaya, over ekspos, cahaya bocor atau apapun, selalu membuat karya tersebut berbeda. Tidak perlu di “edit” lagi, karena Photoshop sudah satu paket dalam kamera rakitannya. Dalam rangkaiannya selanjutnya, imajinasi mengambil alih. Kamera rakitan lubang jarum ini tidak ber-view finder, jadi perlu “komunikasi khusus” antara sipemotret dan kamera buatannya. Bentuk jalin komunikasi ini disebut pre-visualisasi, berlatih mengukur nalar imajinatif, untuk menghasilkan ruang komposisi apa yang akan dihasilkan nanti.

LJ adalah sangat bersifat individu, setiap karya yang dihasilkan selalu berbeda, meskipun dengan tata cara teknis yang sama, tetap saja berbeda. Bahkan LJ menawarkan rangkaian metode yang sangat pribadi, tidak seperti DI, penuh dengan kemungkinan “copy-paste”. Sebut saja beberapa karya alih rupa DI, dengan mudah dobongkar, karena menggunakan metode yang sama, sama-sama mengandalkan software umum dan standar yang baku. Lihat saja beberapa karya fotografi hasil paska produksi DI nyaris mirip dan sama, baik itu untuk lomba foto, pajang karya di jejaring sosial atau karya komersial.

Nilai berbebeda ini memosisikan LJ penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa ditiru secara seksama, karena LJ tidak pernah bersandar pada “standarisasi” umum yang berlaku. (denisugandi@gmail.com)

Wednesday, June 9, 2010

MENELANJANGI PLAGIAT SEBENARNYA: Mengupas plagiat dalam fotografi dari tema, gagasan dan bentuk

Isu plagiat, yang selalu berkonotasi seram ini, selalu mampir dalam berbagai wacana seni. Dalam wahana fotografi, kegiatan meniru dan menjiplak tersebut, hingga kini masih dalam batas abu-abu. Sampai sekarangpun, belum pernah ada kajian khusus apa itu plagiat atau bukan. Saya sendiri mencoba menyelami persoalan ini, menggali kembali peristiwa seperti ini yang pernah diungkap di media masa, dengan konteks untuk kebutuhan kompetisi fotografi.

Kembali pada tahun 1997, pada saat penyelenggaraan Salon Foto Indonesia (Foto Media, April 1998) pihak panitia dan juri menerima karya yang disebut plagiat. Tiga karya Okky Adiwijaya dinyatakan menjiplak, meniru kemudian menerbitkan dalam kontes fotografi nasional, SFI tahun 1997. Diantaranya karyanya dengan judul “Lover” peraih medali perak pada SFI ke-18 tahun 1997, yang ternyata sangat persis dengan karya foto Daniel J. Cox, dari sebuah artikel “How Pros Photograph Animals” pada majalah Popular Photography edisi Agustus 1996.

Begitu pula terulang, pada tahun 2000 lalu, karya Dedy H. Siswandi juara pertama untuk kategori Momokrom, dengan judul “Swimmer” pada SFI ke-21, disinyalir benar-benar meniru karya fotografer Choo Chee Yoong yang pernah diterbitkan dimajalah Photo Asia edisi Januari 1996.

Pada International Photo Contest, yang diselenggarakan oleh BINUS, tahun 2009, kembali tuduhan plagiat tersebut muncul. Kebebasan bersuara melalui jejaring sosial, Ricky N. Sastramiharja menyatakan dengan keras, bahwa karya Sutanta Aditya Lubis, sebagai pemenang lomba BINUS 2009 untuk kategori umum, adalah mirip dengan karya James Nachtwey, dengan judul “ Chechnya, 1996 - Ruins of central Grozny"

Sekali lagi, belum pernah ada kajian khusus. Baik itu dari fotografer senior pendahulu kita, seperti Alm. Kartono Ryadi, Santoso Alimin, Edwin Raharjo, Ir. Goenadi Haryanto, Stanley Bratawira, Paul I. Zacharia, Tubagus P. Svarajati, Budi Darmawan, Alm. K.C. Limarga, Solichin Margo, Aslam Subandi, Oscar Motuloh, jim Supangkat (baca Foto Media 1998 & 2000) tidak pernah menyatakan analisis khusus apa itu plagiat. Semua yang tertulis dalam artikel Foto Media tersebut hanya opini tanpa ada usaha untuk menjelaskan lebih dalam lagi persoalan ini. Sungguh sangat disesalkan, pekerjaan rumah ini belum pernah tuntas hingga kini, semenjak fotografi hadir pertama kali, menginjak tanah Batavia sejak tahun 1840.

Mengupas apa itu plagiat dan bukan tentunya memerlukan parameter tertentu, sehingga akan mudah untuk berpijak. Sistem menyamakan pemahaman terlebih dahulu adalah cara yang paling adil, dalam menilai apakah ini termasuk atau tidak. Arti plagiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online) http://pusatbahasa.diknas.go.id, yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI mempunyai arti demikian:

pla·gi·at n pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, msl menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.

Dalam konteks visual fotografi bisa berarti meniru gagasan karya orang lain, kemudian menyatakan bahwa gagasan tersebut menjadi miliknya. Ini baru tahap gagasan saja, belum dilihat dari bentuk. Gagasan tersebut bisa saja ditiru karena faktor kognitif, sensasi-persepsi, memori dan imajinasi dalam melihat dan mencerap foto-foto yang pernah dilihat sebelumnya, kemudian dihadirkan kembali dalam bentuk gaya yang berbeda.

Bagaimana plagiat itu dikupas?

Perlu dipahami terlebih dahulu batasnya. Kita yakini terlebih dahulu bahwa dalam proses penciptaan karya tidak ada gagasan original. Sebaliknya, meniru nyaris sama itu pasti sangat memungkinkan. Jadi plagiat atau bukan akan mudah sekali dikupas. Cara apresiasi awal suatu karya foto ialah dengan mendeskripsikan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu obyek foto (subject matter) meliputi di dalamnya adalah menyebutkan karater obyek-obyek yang muncul didalam foto tersebut; orang, benda, tempat atau kejadian/peristiwa yang terjadi.

Visual elemen atau unsur-unsur yang menyusun, mengatur dan membangun foto sebagai berikut: titik, garis, bidang, bentuk, cahaya, warna, tekstur, massa, ruang dan volume disebut bentuk dan teknis (form). Deskripsi tersebut dapat dilihat dari rentang nada (shades of gray/tonal) hitam ke putih, kontras obyek, kontras jenis film/negatif (noise untuk digital) kontras kertas, format film, sudut pandang, jarak obyek, lensa yang digunakan, pembingkaian, ruang tajam, tingkat ketajaman fokus dan sebagainya.

Media. Material pembangun karya foto tersebut. Misalnya cetakan momochrome dengan menggunakan media kertas cetak tertentu, dengan proses lanjutan (paska-produksi menggunakan teknik digital imaging). Deskripsi media pun meliputi seluruh aspek yang turut membangun terciptanya ekspresi seniman pada karyanya, serta dampak yang timbul pada pelihatnya.

Terakhir adalah melihat dari gaya/style. Adalah menyangkut kondisi sosial-politik-ekonomi dan semangat jaman saat itu (zeitgeist) termasuk didalamnya gerakan seni, periode waktu serta faktor geografis, yang memperngaruhi proses penciptaan karya. Ciri seperti ini bisa dikenali dari obyek foto, teknis pemotretan dan media foto.

Mengupas tuduhan palgiat Sutanta Aditya Lubis versus James Nachtwey

Dua anak, dengan menggunakan lensa lebar, memenggal separuh kepala anak tersebut. Point of interest gambar ini bukan anak tersebut, tetapi informasi yang terkandungnnya, lingkungan dalam gambar ini menjelaskan, sama-sama sebuah produk perang; James Nachtwey menjelaskan kehancuran sebuah kota di Central Grozn di Checnya tahun 1996 (Dengan judul Ruins of Central Grozn), sedangkan karya Sutanta Aditya Lubis memaparkan “perang” himpitan ekonomi di pinggiran kota. Bila disandingkan, dua foto tersebut memang terlihat sama, baik itu pemilihan sudut pengambilan-dari atas, perspektif yang dihasilkan dari efek lensa lebar atau menghadirkan kepala anak separuh, sehingga si pemotret bisa leluasa mengeksplorasi latar pendukung yang mewakili kekuatan anak tersebut. Ide dan gagasan sama, namun maknanya bisa berbeda.

Tema dan pesan kedua foto tersebut sama, sama-sama berusaha menampilkan sisi realitas manusia yang buram. Sisi buram ini yang saya lihat tidak lagi menampilkan manusia sebagai tokoh sentral atau sebagai subyek, melainkan sebagai obyek dari sistem sosial, budaya, politik dan sistem ekonomi tertentu. Jelas keduanya menggunakan narasi visual negatif.

Bila dianalisa dari alur dan bentuk, kedua foto tersebut nyaris memiliki pola yang sama, pengambilan sudut lebar, dengan demikian dapat mengambil informasi lingkungan yang lebih banyak. Dengan penggunaan lensa lebar, perspektif menuju pada titik yang sama. Bisa diperhatikan garis maya pada karya foto Sutanta, jalur kereta api, menuju titik perspektif yang sama dengan karya Nachwey, deskripsi rentang nada/tonal menggunakan pemilihan paska-produksi hiram dan putih, intensitas cahaya pada saat pengambilan, low kontras dan aspek teknik burning-dodging.

Dalam menterjemahkan gaya, baik Sutanta dan Nachwey, sama-sama menggunakan metode EDFAT, metode yang diperkenalkan Walter Cronkite School of Journalism and Telecomunication, Arizona State University. Sebagai metode EDFAT mungkin tepat digunakan sebagai pembingbing dalam setiap penugasan ataupun mengembangkan suatu konsep fotogafi pribadi (Motuloh, Oscar, 1999, hal 6). EDFAT adalah suatu metode pemotretan untuk melatih optis melihat sesuatu dengan detail yang tajam. Tahapan-tahapannya yang dilakukan pada setiap unsur dari metode ini adalah suatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai (Prasetya, Andhika, 2003, hal 26).

Huruf E, berarti “Entire” dikenal sebagai established shoot, ruang luas wilayah pengamatan, “Detail” adalah suatu pilihan atas bagian terntentu dari keseluruhan padangan terdahulu (Entire). Tahap ini adalah saat penentuan Point of Interest. Sutanta mengambil mata anak yang tertutup perban, karena menderita penyakit mata, bermaksud mengantarkan menuju lingkungannya (latar). “Frame” adalah proses membingkai detail yang telah terpilih. Cara pengaturan komposisi, pola, tekstur dan bentuk subyek pemotretan antara dua karya tersebut sama. “Angle” atau sudut pengambilan, sama-sama dilakukan dari atas, top angle, karena kedua fotografer sama-sama tinggi dibandingkan si anak tersebut. Tahapan terakhir dari EDFAT, adalah “Time” tahap penentuan kehadiran anak tersebut (saya berkesimpulan tidak ada upaya pengaturan subyek) pada seting waktu yang sama, sama-sama menggunakan kecepatan tinggi, membekukan gerakan. Hanya pemilihan ruang tajam saja yang berbeda.

Palgiat itu?

Karya Sutanta dan Nachtwey, baik itu dari bentuk, gagasan dan tema, jelas karya ini bila disandikan ada kesetaraan. Persamaan karya ini, ternyata mudah sekali terjadi. Kalau memang Sutanta menyadari karya ini ada kesamaan dengan karya fotografi sebelumnya, yang pernah dikenal publik (dipublikasikan) dan kemudian dihadirkan diruang publik, misalnya dalam lomba foto, tentu saja karya ini harus dipertanggung jawabkan pada publik pula dan Sutanta harus siap menjawab. Hal demikian lumrah terjadi pada dunia jurnalistik, lihat saja karya essay foto Rama Surya “Yang kuat yang kalah” bila dibandingkan dengan karya Sebastian Salgado dalam essainya “An Uncertain Grace” sebagian besar sama dan sebangun (congruent), yang sangat dipengaruhi gaya pemotretan fotografer-fotografer pendahulunya: Henri Cartier Bresson dan Eugen Smith. Sutanta Aditya Lubis terinspirasi karya-karya James Nachtwey adalah sah-sah saja. Tetapi bilamana karya tersebut turut membuka wawasan publik dan kemudian publik bereaksi, karya foto tersebut sudah tidak penting lagi, juga tidak penting lagi berbicara apakah itu plagiat atau bukan. (denisugandi@gmail.com)

Referensi foto:

http://6ix2o9ine.blogspot.com/2010/05/plagiat.html

Wednesday, June 2, 2010

Alih rupa pada jurnalistik: Diskusi fotografi Momentum UNLA, 2 Juni 2010

Sejarah Pinhole di Bandung

Menelusuri kembali kapan jenis kamera tidak menggunakan lensa ini digunakan, harus dilihat dari dua periodisasi; masa kolonial, saat fotografi datang di Indonesia dan setelah perang kemerdekaan, memasuki masa fotografi modern, yang ditandai hadirnya kamera 135mm dan film roll seluloid. Pada periode pertama, hingga kini (penulis. Red) belum menemui penggunaan pinhole fotografi sebagai catatan dokumentasi masa Hindia-Belanda. Berbeda dengan periode setelahnya.

Hadirnya fotografi di Indonesia, tahun 1841 yang dibawa oleh seorang pegawai kesehatan Belanda, Jurrian Munich, belum ada bukti bahwa pinhole digunakan untuk kepentingan dokumentasi Hindia-Belanda. Pada saat itu, Munich menggunakan kamera Daguerretype (berlensa) begitu pula, dengan fotografer penggantinya tahun 1844, Adolph Schaefer tidak menggunakan pinhole untuk memotret patung Hindu-Jawa koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshapen (Lembaga kesenian dan ilmu pengetahuan Batavia)

Bila membandingkan dengan penggunaan pinhole sebagai medium ekspresi seni di belahan dunia lain, akhir tahun 1880-an, di Inggris telah lahir gerakan Impressionist yang diilhami oleh pelukis Monet. Terjadi silang pendapat tentang pendekatan kreasi seni fotografi pada masa itu. Golongan lama lebih mementingkan fokus dan detail tajam dari penggunaan lensa, sedangkan pendapat lain, atau disebut genre piktorialis berusaha menangkap gaya lukisan (baca: impresionist) pinhole pun digunakan oleh seorang seniman tahun 1890, yaitu George Davidson dengan karyanya An Old Farmstead, kemudian dinamai The Onion Field. Karya ini mendapatkan penghargaan pada pameran tahunan yang diselenggarakan oleh Photographic Society of London (Beberapa tahun kemudian dikenal dengan Royal Photographic Society) yang kemudian melahirkan seniman-seniman fotografi piktorial. Pinhole fotografi kemudian banyak diminati semenjak tahun 1890-an. Kamera diproduksi dan dijual masal di Eropa, Amerika dan Jepang. Kamera ini laku keras, hingga terjual 4000 kamera di London tahun 1892. Pada masa itu, kamera jenis ini sama dengan kamera sekali pakai.

Memang sangat sulit sekali melacak kembali, apakah pinhole digunakan seniman fotografi awal tahun 1920-an di indonesia. Hingga kini, belum ada penelitian khusus tentang ini. Termasuk satu klub fotografi tua di Indonesia, Preanger Amateur Fotografen Vereeniging, PAF-V. Klub penggemar fotografi pertama di Indonesia adalah Eerste Nederlandsch Indische Amateur Fotografen Vereeniging (ENVIAF) di Jakarta Kota (Harmoni dan sekitarnya, dahulu dikenal dengan kawansan Weltedreven).

Periode berikutnya, setelah pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, tahun 1954, PAF Bandung hadir kembali, kemudian tahun 1957 di Indonesiakan oleh R.M. Soelarko, menjadi Perhimpunan Amatir Foto.

Pada masa sebelum dan sesudah perang, masa awal kebangkitan kembali PAF, pinhole bukan media ekspresi seni bagi PAF. Bisa diindikasikan dari catatan dalam bulletin PAF semenjak tahun 1957 hingga kini, tidak pernah ada bahasan mengenai pinhole fotografi secara spesifik, baik itu untuk lomba foto bulanan, maupun dalam diskusi klub. Hanya ada satu tulisan saduran khusus yang membahas alternatif fotografi, dibahas oleh alm. R.M Soelarko; tentang photogram. Diduga, pada masa itu pinhole hanya dilakukan secara individu. Hingga pada tahun 1996, sebuah gerakan paguyuban fotografi di Bandung, yang menamai dirinya Forum Fotografi Bandung, belum melirik pinhole sebagai medium alternatif seni fotografi.

Kelahiran Pinhole di Indonesia
Kebangkitan pinhole masa kini, ditandai dengan hadirnya kembali seniman-seniman fotografi, yang menggunakan medium pinhole sebagai media ekspresi seni. Pada pertengahan tahun 1960-an, beberapa seniman dunia mulai melirik kembali penggunaan pinhole. Diantaranya Paolo Gioli dari Italy, Gottfried Jager dari Jerman, David Lebe, Franco Salmoiraghi, Wiley Sanderson dan Eric Renner dari Amerika. Di Indonesia sendiri, pinhole kemungkinan digunakan sebatas eksperimen untuk kebutuhan pribadi saja.

Ray Bachtiar, salah satu seniman fotografi Indonesia, mulai melirik pinhole sebagai medium seni fotografi. Gerakan ini dicetuskan dengan membangun jaringan melalui klub dan penggemar fotografi, yang sebelumnya belum menyukai pinhole. Dari gerakan yang dibangun Ray Bachtiar ini, kemudian dinamai Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJ-I), yang tersebar di 17 kota di Indonesia. Cikal bakal KLJ ini dimulai dari eksperimen media rekam ini sebagai metode edukasi, yang dicoba pada anak-anak SD di Bantar Gebang Bekasi tahun 2001. Pada saat itu didukung oleh Galeri I-see dan bantuan Kedutaan Belanda. Pada bulan September 2001, Ray Bachtiar menerbitkan buku panduan “Memotret dengan Kamera Lubang Jarum” terbitan Puspaswara, yang disusul dengan buku kedua (dalam format majalah) “Ritual Fotografi” terbitan edisi spesial Majalah Foto dan Video Chip Foto Video. Kegiatan berikutnya adalah mendeklarasikan istilah Pinhole dengan Kamera Lubang Jarum (KLJ) disusul dengan “gerilya” workshop non-profit Jawa-Bali hingga Makasar. Tepat tanggal 17 Agustus 2002, mendeklarasikan sepihak, Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI) sebagai naungan para pencinta KLJ di Indonesia.

Bila diluar negeri, pinhole merupakan kurikulum wajib yang diajarkan pada akademi maupun jurusan fotografi, Di Indonesia pun telah diupayakan hal yang sama. Kini KLJ telah menjadi kurikulum tetap di ISI-Yogya. Diranah senipun, Ray Bachtiar melalui KLJ-nya mencoba diwacanakan. Bulan September 2002, dengan berkolaborasi seni lukis, tekstil dan teater, KLJ diterima sebagai wacana seni, pada event “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” di Bali.

Pinhole di Bandung
Semenjak workshop KLJ pertama di Bandung, tahun 2002 lalu, yang diikuti pula oleh profesional fotografer, pewarta foto, seniman teater, seniman grafis hingga pencinta fotografi di kediaman pendiri Forum Fotografi Bandung, Jirman De Martha, di Lembang Bandung.

Dari workshop inilah, bisa dikatakan tonggak pertama komunitas lubang jarum berdiri di Bandung. Karena dalam bentuk komunitas, relawan yang duduk mengurusi komunitas ini datang dan pergi. Pengurus pertama yang masih setia dari awal hingga kini adalah Deni Sugandi, Julius Tomasowa dan Amy. Kini bergabung Willi, Gilang, Ame dan Kamerapinjaman.com; Rofii, Soge, Gondrong dll.

Seiring tahun berjalan, komunitas inipun mendapat dukungan dari Sekolah fotografi modern Pusat Pelatihan Fotografi Jonas (PPFJ) yang dilahirkan oleh pemilik studio ternama di Bandung, Gunadi H. Selanjutnya, aktifitas pun berlanjut, mulai dari kampus ke kampus, dari workshop mini hingga melibatkan lebih dari 60 orang lebih partisipan. Workshop yang dilakukan pun bersifat pendampingan; diantaranya workshop dua hari bersama Gunadharma-Arsitektur ITB, Arsitektur UNPAR, SMU 25 Bandung, Keluarga Mahasiswa Arsitektur Kridaya UPI dan Enlight Learning Center (ELC) di Taman Ganesha Bandung

Beberapa kegiatan rutin telah dilakukan, mulai dari kegiatan hunting bulanan, workshop kecil hingga pameran bersama, baik itu sifatnya pajang karya, maupun digarap serius. Beberapa media, seperti Harian Umum Pikiran Rakyat telah beberapa kali menampilkan komunitas ini sebagai alternatif berkarya melalui apresiasi fotografi di Bandung. Terakhir, liputan PJTV dalam segmen acara Photocholic dan IMTV Bandung. (denisugandi@gmail.com)