Wednesday, January 13, 2010

KI BUYUT ALUN-ALUN BANDUNG

Fotografer amatir alun-alun Bandung

“Tahun 1970-an awal itu kurang lebih 60 orang lebih yang berprofesi foto amatir, sekarang sih tinggal 6 orang saja. Itulah, semenjak hp sudah bisa pake motret, profesi kami sekarang sudah tidak menentu lagi”

Keluh kesah tersebut sepertinya dinikmati begitu saja, memang terlihat tanpa beban. Inilah pilihan hidup yang sudah dipilih Atoy Toyib sebagai fotografer amatir* yang beroperasi di wilayah sekitar alun-alun kota Bandung. Begitu banyak asam-garam yang dilakoninya, semenjak alun-alun yang terkenal dengan tempat transaksi “kembang Bandung” penggusuran, premanisme hingga beberapa kali menyaksikan perubahan struktur bangunan masjid. Karena konsisten semenjak tahun 70-an hingga kini, beberapa kawan-kawan seprofesi, berkelakar, memanggil Toyib sebagai Ki Buyut, selain mudah dikenali penampilan eksentrik, juga janggut putih tebal menjadikannya ciri monumen hidup di alun-alun Bandung.

Kamera merek terkenal awal tahun 80-an, tergantung kuat dilehernya. Nampak goresan sana-sini, bak ibarat kamera perang, melalui lensa 50mm inilah ia telah mendokumentasikan morfologis fashion, gaya rambut, pose remaja Bandung dari tahun tujuh puluhan hingga kini. “Ini mah jarang dipake, malahan ga ada filmnya, cuma aksi saja, biar orang tahu kalau saya adalah fotografer amatir” jelas Toyib. Penggunaan film 35mm masih juga ada yang berminat, tetapi tidak begitu banyak. Selain sebagai fotografer amatir, Toyib pun kadang menggunakan film untuk usaha foto langsung jadi, pada acara wisuda, pernikahan atau dokumentasi pas foto. “Tujuh anak saya, saya besarkan dengan kamera ini” sambil menunjuk kamera tuannya, terlihat sudah tidak berfungsi lagi. Film merupakan pilihan yang masuk akal bagi mereka, selain ekonomis, tampilan kamera ukuran 35mm masih “menjual kharisma” meskipun untuk tugas sehari-harinya ia menggunakan kamara jenis saku digital 6 megapixel.

Kini, jumlah pemotret yang aktif, berjumlah 6 orang saja, selain dirinya, ada beberapa kawan-kawan seperjuangannya turut pula mendampinginnya. Masing-masing kini menggunakan kamera digital poket. Bukan berarti mereka tidak ingin menggunakan jenis kamera yang DSLR yang layak, tetapi, bagi mereka benda tersebut masih jauh diangan-angan karena mahal. Bisa dikatakan, profesi terhormat seperti ini tampaknya jauh dari perhatian pemerintah, atau malah dari kapitalis penguasa usaha fotografi di Bandung. Tanpa kehadiran mereka, lab-lab foto di Bandung tentunya akan gulung tikar, karena tidak ada “order” proses film.

Meskipun pernah ada salah satu lab terbesar di kota Bandung memberikan perhatian, tetapi itu pun sebatas “bahasa” seremonial. Ketika Harry Roesli masih hidup, ia menggagas istilah tanggung jawab profesinya sebagai musisi, Ia menggalang pengamen di Bandung, kemudian diberikan pelatihan gratis. Ini semata-mata karena ia sebagai seniman, mengais hidup pula dari seni musik. Ia berharap, musik jalanan yang dipetik dari dawai gitar pengamen, mengalun dengan baik, dan indah diterima telinga. Kira-kira, akan seperti apa tanggung jawab moral kita, untuk fotografer amatir seperti ini? (denisugandi@gmail.com)

*Meskipun istilah rancu ini, tetapi sudah melekat di kalangan mereka yang menggantungkan hidupnya di dunia jasa fotografi. Sebutan fotografer amatir dikenal semenjak film hitam putih masuk di kota Bandung. Profesi ini digeluti dengan latar hoby atau belajar secara otodidak, sebagian diturunkan dari generasi sebelumnya. Pekerjaan ini menjadi pilihan hidup dan menjadi sumber mata pencaharian sehari-hari.

No comments: