Saturday, February 28, 2009

Jurnalistik di gugat di Gedung Indonesia Menggugat

Sebuah tajuk nan provokatif “Standarisasi Foto Jurnalistik di Media” pada sebuah thread komunitas fotografi online, FN. Judul yang menggelitik, memancing, yang seharusnya di ‘gugat” ternyata sepi sepi saja.

“Standarisasi Foto Jurnalistik di Media”Gedung Indonesia Menggugat, Sabtu 28 Februari 2009Pembicara; Oscar Motuloh (Antara) dan Bea Wiharta (Reuters) Moderator: Irma Chantily Diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurnalistik FIKOM UNPAD

Sebuah foto, menggambarkan seorang prajurit Amerika di sebuah bunker di pertempuran Irak, tampak kelelahan. Sang fotografer, memotretnya dalam kondisi cahaya rendah, mengakibatkan gambar menjadi blur, karena long eksposur. Tampak terlihat matanya terbelalak, menatap kosong. Inilah pemenang World Press Foto tahun 2007, Tim Hetherington. “Tegas Oscar Motuloh, dalam penyampaiannya dalam seminar “Standarisasi Foto Jurnalistik di Media” yang diselenggaraka oleh HIMA Juranalistik UNPAD, 28 Februari 2009 lalu. Tetapi kitapun tidak selalu harus bisa menerima begitu saja, tandasnya, seraya memperlihatkan foto nominasi lain, dari fotografer yang sama; Tim Hetherington, (http://www.youtube.com/watch?v=d00_hlRYuE8) foto hitam putih, tentara yang sama dalam kondisi waktu yang berbeda, di tempat yang sama, tergolek lemah, sambil memegang “machine gun” Gambar ini dieksekusi dengan bagus, baik itu secara teknis, maupun “isi” yang ingin disampaikannya. Namun kenapa, juri World Press lebih memilih foto pertama? “Marilah kita gugat, karena kita berada di gedung untuk menggugat” tandas Oscar.

“Awalnya sebuah citra” ketikan rapih yang dituliskan pada slide presentasi urutan petama pada setiap sajian oleh Oscar Motuloh. Diakuinya bahwa kalimat tersebut memang “dipinjam” dari seorang sastrawan Indonesia, setiap ia akan menorehkan puisinya, Sutarji Colsum Bachri. Contekan tersebut kemudian diganti “kata” menjadi “citra” dengan alasan bahwa manusia adalah adalah mahluk visual, begitpula, ketika lahir di dunia, pertama kali adalah ia akan “melihat” ibunya sendiri yang melahirkannya, bukan bersilat lidah ataupun menulis.

Kembali pada catatan sejarah fotografi itu sendiri. geliat fotografi dicetuskan oleh Niepche pada tahun 1839 di Prancis, kemudian masuk ke Batavia, dalam hitungan dua tahun kemudian, 1841. Beberapa tahun kemudian, sebuah media menerbitkan, fotografi petama yang digunakan dalam warta hariaannya di Amerika. Inilah salah satu tonggak sejarah, fotografi dan media berdampingan. Begit pula perkembangan di Indonesia, agency news di kala itu belumlah mendapat perhatian dari pemerintah, termasuk kini, nasib lebih dari 250ribuan plat, negatif foto perjalanan sejarah bangsa, yang dimiliki IPHOSS terkatung –katung nasibnya, karena kurangnya dana untuk melestarikan negatif tersebut (lihat mendur besaudara)

Lain dengan Oscar Motuloh, lain pula dengan penyampaian materi yang diberikan oleh Bea Wiharta. Beliau menegaskan, ketika bergabung di Reuters, ada beberapa peraturan tertulis apa saja yang harus difoto. Sebuah catatan tebal, berhalaman. Beliaupun menuturkan, lima standar dalam jurnalistik; foto news, yang meluputi peristiwa atau kejadian. Kedua adalah Features, foto bebas, berdiris sendiri dan bisa bercerita sendiri. Ketiga foto entertaintment, bisa termasuk gambar-gambar liputan fashion. Keempat foto sport, dan terakhir foto bisnis dan ekonomi.

Ia menuturkan, untuk Reuters, kini pewarta fotopun perlu mengikuti training, sebelum diterjunkan di lapangan. Tercatat hingga tahun 2008, hampir 168 wartawan yang bekerja untuk Reuters meninggal di daerah konflik, entah itu meninggal karena akibat peperangan, maupun yang ditawan. Standar keselamatan para pewarta foto kini sangat di utamakan di Reuters. Sebagai catatan, Bea Wiharta ini lebih dikenal dengan perwarta foto “konflik” dimana ada kerusuhan, konflik, ia lah yang turun. Bisa dikatakan James Nachtwey-nya Indonesia. Pada kesempatan ini beliau berkisah tentang masa-masa peliputannya pada tahun 1989 lalu, saat reformasi dan demo mahasiswa tercetus. Pada saat itu, beliau banyak belajar dari pewarta foto Julian Sihombing, kemanapun ia pergi, Bea selalu menguntit. “Kemana Julian pergi, gue kuntit terus deh” katanya. Singkat cerita, ketika demo mahasiswa mulai reda, mahasiswa kembali ke kampus, dan aparat pun begerak berlawanan arah, pukul empat sore. Pada kesempatan ini, karena lapar, Bea bermaksud membeli nasi bungkus. Begitu beberapa kali suapan, terdengar bunyi letusan senapan, dengan sigap ia pun turut larut, berlari ke arah mahasiswa. Dalam perjalanannya, ia mendapati seorang mahasiswi, pingsan, sedang dibantu berdiri oleh aparat. Beberapa foto pun ia ambil. Pada saat yang bersamaan pula, ia bertemu Julian Sihombing. Ternyata usut-punya usut, Julian-lah yang mendapatkan momen tepat foto mahasiswi tersebut tergeletak terkapar, dan muncul di koran Kompas keesokan harinya. “Saat itu sih gue cuman dapet sisa adegannya” katanya, sedangkan yang lebih beruntung adalah Julian Sihombing, pewarta foto Kompas. Menurut Oscar Motuloh, foto tersebut bisa dikatakan sebagai provokator penyulut peristiwa “Mei 1998” kelabu.

Begitulah, sebuah foto jurnalistik yang “keren” (meminjam istilah Oscar motuloh) adalah informasi yang dapat diterima oleh masyarakat. Lebih penting konten dibandingkan keterampilan teknis, tetapi karya foto yang, sekali lagi “keren” akan dihasilkan oleh itelengensia (baca. Cerdas) si pemotret itu sendiri. Dan tentunya ditunjang pengetahuan dan wawasan tengang; politik, budaya, sejarah dan terakhir adalah teknis. “Tetapi belum siap secara teknis, belum tentu bisa menghasilkan gambar baik” tambah Bea Wiharta. Menurut Oscar Motuloh, pengetahuan foto jurnalistik itu seperti piramida. Dasar dari bentuk segitiga itu adalah “Snapshoot” bagi pemula, kemudian ada Art Photography, adalah bentuk komunikasi visual yang menggunakan bahasa bahasa semiotika, kemudian Advance amatir, dan di ujung puncak piramida adalah foto jurnalistik.

Pada ujung acara seminar ini, ada satu “gugatan” dari seorang Oscar Motuloh, dan bisa dianggap kesimpulan dari rangkaian seminar ini. Pada saat ini, para pemimpin redaksi media tertentu, tidak menguasai jurnalistik, sehingga gambar yang dihasilkan para pewarta fotonya itu itu saja, semacam pengulangan. Ini benar ditambahkan Bea Wiharta, bahwa ini adalah bagian dari peninggalan pendidikan yang berbasiskan kepada tekstual, bukan visual. Inilah menjadi cerninanan foto jurnalistik di Indonesia. Seberapa “cerdas” kah pewarta foto kita, akan tercermin dari hasil karyanya. Tetapi hasil karya tersebut bukanlah dewa, tetapi yang terpenting adalah bagaimana gambar itu bisa mengantarkan perubahan. Dan disitulah foto selesai, mengantarkan tugasnya. (Deni Sugandi)

1 comment:

siSandi said...

saya tertarik dengan paragraf terahir, selanjutnya yang harus digugut adalah pemilik modal dan redaktur foto otu sendiri, karena pada akhirnya mereka yang memutuskannya dan memberikan pencitraan kepada khalayak tentang fotjurnalistik.