Saturday, November 13, 2010

PHOTOSHOP INSIDE!

Semua yang telah dilakukan fotografi kini, adalah hasil proses panjang penyempurnaan, semenjak diumumkan pada publik melalui karya Niepce tahun 1826 “View from window Le’gras” di Prancis. Bahkan proses alih rupa pertama, teknik montase di dunia, dilakukan Hyppolyte Bayard, tahun 1839, dengan judul karyanya “Self portrait as drown man”, sebagai protes pada pemerintah Prancis yang hanya mengakui Daguere, ketika ia mematenkan penemuannya. Dalam kurun waktu yang sama, di ingris, William Fox Talbot turut menyempurnakan penemuan Thomas Wegwood dan Humprhy Davy, sebuah terobosan metode rekam yang bisa direproduksi berkali-kali; negatif! Hingga tahun 1888, seorang teler sebuah bank di Amerika, merevolusi teknik rekam "You Press the Button, We Do the Rest". Semenjak itu, fotografi sebagai alat yang sangat demokratis.

Dari rangkaian peristiwa di atas, jelas bahwa fotografi kini adalah hasil penyempurnaan dari para pelaku, mulai dari ahli kimia, fisika, optis, mekanik hingga antusias. Semuanya menuju satu titik, sama-sama mempermudah proses pemotretan secara teknis. Lantas bagaimana kelanjutannya kini?

Semenjak awal tahun 2000, fotografi menjadi bagian penting proses fotografi posmodern. Semakin mudah, murah dan meriah. Begitu juga digital imaging (baca: paska-produksi), bagian dari teknologi ini yang memungkin untuk “bisa berbohong” dengan sekejap, dengan software editing yang beragam. Tidak ada batasan kreasi, selama mempunyai perangkat software dan hardware yang memadai. Semuanya serba mudah dan cepat. Dengan demikian, apalagi yang dicari oleh fotografi? Apakah fotografi sudah mencapai titik tertinggi? kehilangan tantangannya? Jawaban seperti ini, rupanya hinggap di komunitas lubang jarum Indonesia.

Komunitas yang lahir akibat fotografi digital dan digital imaging delapan tahun yang lalu, ingin turut “mempertanyakan” kembali fotografi sebenarnya, tentunya kebenaran yang diyakini versi komunitas ini. Sejatinya makna yang terkandung didalam digital imaging (DI) sama saja dengan proses kreatif lubang jarum (LJ), karena teknologi kini menyerap kaidah fotografi tradisional, namun yang membedakan adalah hanya medianya saja. Dalam DI, segala sesuatunya selalu berlandaskan kecepatan waktu proses dan ketepatan, sedangkan LJ sebaliknya, bahkan bisa diluar dugaan. Bila berpijak pada proses kreasi, tentunya LJ lebih kaya dibandingkan DI. Dengan prinsip “membuat, bukan membeli” lubang jarum lebih egaliter. Berawal dari bentuk yang sudah ada kemudian dimodifikasi, seperti kaleng bekas, dus sepatu atau kotak pensil, kemudian dimodifikasi menjadi fungsi kamera.

Kini komunitas lubang jarum di Bandung, bahkan menawarkan bentuk kamera rakitan yang didisain sendiri. Ragam kamera ini bisa berbentuk silinder, segitiga, memanjang, setengah lingkaran, multi lubang hingga variasi panjang fokal bervariasi. Ini membuktikan bahwa LJ membuka pintu kebebasan untuk berkreasi tanpa batas. Dititik inilah kreatifitas dimulai. Setiap karya yang dihasilkan LJ akan selalu beragam, bahkan “cara gagal” pun bisa dimaknai unik dan menarik. Entah itu defraksi cahaya, over ekspos, cahaya bocor atau apapun, selalu membuat karya tersebut berbeda. Tidak perlu di “edit” lagi, karena Photoshop sudah satu paket dalam kamera rakitannya. Dalam rangkaiannya selanjutnya, imajinasi mengambil alih. Kamera rakitan lubang jarum ini tidak ber-view finder, jadi perlu “komunikasi khusus” antara sipemotret dan kamera buatannya. Bentuk jalin komunikasi ini disebut pre-visualisasi, berlatih mengukur nalar imajinatif, untuk menghasilkan ruang komposisi apa yang akan dihasilkan nanti.

LJ adalah sangat bersifat individu, setiap karya yang dihasilkan selalu berbeda, meskipun dengan tata cara teknis yang sama, tetap saja berbeda. Bahkan LJ menawarkan rangkaian metode yang sangat pribadi, tidak seperti DI, penuh dengan kemungkinan “copy-paste”. Sebut saja beberapa karya alih rupa DI, dengan mudah dobongkar, karena menggunakan metode yang sama, sama-sama mengandalkan software umum dan standar yang baku. Lihat saja beberapa karya fotografi hasil paska produksi DI nyaris mirip dan sama, baik itu untuk lomba foto, pajang karya di jejaring sosial atau karya komersial.

Nilai berbebeda ini memosisikan LJ penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa ditiru secara seksama, karena LJ tidak pernah bersandar pada “standarisasi” umum yang berlaku. (denisugandi@gmail.com)