Tuesday, January 19, 2010

BERKAH DARI DAYANG SUMBI


Sangat mudah mengidentifikasi mereka, mungkin kartunis Benny dan Mice akan senang mendeskripsikan mereka. Jaket lusuh berlogokan salah satu produsen kamera, tas hitam kotak model diselendangkan, dan topi sebagai pelindung dari matahari. Tidak lupa, portofolio bentuk produk yang mereka tawarkan, bingkai karton warna hijau (disesuaikan dengan warna coporate branding produsen kamera) sebagai bingkai yang diberikan untuk setiap jasa pemotretan dan terakhir, kamera jenis FUJI INSTAX 200, selalu tergantung dileher. Lengkap sudah, atribut penjual jasa foto langsung jadi, mereka menyebut dirinya sendiri adalah fotografer amatir*

Berkah mereka adalah rejeki dari mitos Sangkuriang dan Dayang Sumbi** Semenjak tahun 80-an awal, beberapa orang sudah memetik keuntungan dari legenda ini. Sebutlah mereka kelompok fotografer langsung jadi (mereka menyukai disebut foto amatir) yang bekerja di wilayah wisata Gunung Tangkuban Parahu. Berbeda dengan profesi penjual jasa souvenir dan asesoris, yang tercatat hampir 150 orang lebih, jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh orang. Mereka dilindungi dengan sistem “lisensi” yang harus diperpanjang setiap tahun, dengan membayar iuran sebesar dua puluh lima ribu rupiah. Aturan tidak tertulis ini, menyatakan bahwa, jumlah tersebut tidak boleh bertambah, bilama mana ada anggota yang meninggal, lisensi tersebut haruslah dibeli bila orang bersangkutan tidak ada hubungan saudara. Biasanya, lisensi ini diwariskan kepada anak atau saudara dekat.

Buchori, yang biasa dipanggil Ucok (58 tahun), menuturkan bahwa dirinya mulai aktif pada tahun 1980. Pada saat itu, penggunaan kertas film langsung jadi menjadi pilihan utama, dibandingkan jenis film seluloid, karena membutuhkan proses cuci-cetak. Pada saat itu, hanya produk Polaroid saja yang paling diminati, tipe Polaroid Sun 600 dan Polaroid Amigo 620. Berbeda dengan Kodak, jauh kurang dilirik mereka, karena harga dan ketersedian yang sulit terjangkau. Seiring waktu, Polaroid semakin sulit pula dijumpai, harga yang semakin mahal, dan kualitas yang kurang baik, karena berada diketinggian 1300 di atas permukaan laut, menyebabkan kawasan wisata ini selalu ditutupi kabut. Maka mereka beralih ke merek lain, FUJI INSTAX.

Generasi penggunaan kamera jenis FUJI INSTAX 100, dengan ukuran bidang gambar 62x99mm, warna, autofocus dan hasil lebih baik dibandingkan merek lain. Hingga kini, para pemotret langsung jadi, menggunakan generasi kamera tipe baru FUJI INTAX 200. Ada satu catatan menarik dari jenis kamera ini, bahwa mereka mengakui, semenjak kehadiran handphone bisa digunakan menjadi kamera, rupanya mempengaruhi omset penjualan jasa mereka. Menurt Buchori, untuk mengakalinya, mereka “memodifikasi” kameranya sendiri (menambahkan tombol yang disambung pada motor penggerak) bisa memotret berulang-ulang pada frame yang sama (teknik multiple eksposur) Dengan metode ini, mereka bisa menarkan pemotretan langsung jadi lebih unik. Beberapa konsumen berdecak kagum, bisa hadir “kembar” dalam satu frame. Daya tarik inilah, menjadi produk unggulan, yang kini bisa mereka tawarkan kepada pengunjung. Untuk urusan suplai material, mereka mendapatkan “pinjaman” dari juragan (menurut pa Bochori masih bekerja untuk perusahaan distribusi kamera dan film di Bandung) berupa kamera dan kertas film, untuk urusan lainnya, baterai dan jasa ditanggung mereka. Karena suplai dianggap sulit ditemui di toko penyedia kamera, biasanya mereka menyimpan dirumah pa Buchori, sebagai penyuplai material, untuk urusan pembayaran akan dilunasi setelah pekerjaan selesai, itupun bila ada konsumen yang memakai jasa mereka.

Bagaimana mereka bisa memotret? Meskipun dari latar bekerja serabutan, kadang menjadi pedagang asong, petugas parkir, supir hingga berdagang makanan pernah Buchori lakoni. Namun berprofesi fotografer inilah yang kini mengantarkannya dianggap sebagai ketua paguyuban fotografer amatir di kawasan wisata Tangkuban Parahu. Untuk urusan belajar memotret adalah otodidak, belajar sendiri, karena jenis kamera yang mereka pakai sudah termasuk auto-eksposure dan auto-focus, yang harus mereka perhatikan adalah pemilihan komposisi dan latar belakang pemandangan. Untuk lokasi yang paling banyak diminati adalah dengan latar kawah, di lokasi ceruk setelah komplek pedagang. Menurut Buchori, hingga kini ada dua puluh orang yang terbagung dalam paguyuban ini, rata-rata berusia diatas empat puluh tahun. Bagi anak muda, menjadi profesi ini kurang begitu diminati dan kurang bergengsi. Para pemotret tersebut diantaranya; Endut, Edi, Aceng, Anda, Suhaya, Toha, tudin, Yaya, Udin, Ico, Aceng, Juhana, Umar, Oman, Nurdin, Uca, Ade, Jeding, Nur, Dono dan Dani.

Secara jujur, Yaya Suniarya (60 tahun) mengatakan bahwa, untuk ukuran pekerjaan ini, tidak ada angka penghasilan yang pasti. Satu hari untuk ukuran hari libur bisa mendapatkan antara dua hingga tiga pak, yang berisi masing-masing sepuluh frame foto. Sedangkan untuk hari biasa, bisa dua frame atau tidak sama sekali. Harga yang ditawarkan pun bisa harga dasar material, Rp. 7.500 hingga Rp. 12.500. tergantung dari negosiasi dan tawar menawar. Demi menghidupi kebutuhan rumah tangga, bersandar menjadi fotografer langsung jadi kurang begitu menguntungkan. “Anu penting mah, dapur tetep ngebul” ujar Yaya (Yang penting, urusan dapur masih bisa memasak sesuatu) Hingga tutup usia, mungkin saya berhenti memotret, seloroh Yaya sambil tersenyum pahit, sekaligus menutup perbincangan kami. (denisugandi@gmail.com)


*istilah ini ditujukan bagi mereka yang sudah mempunyai pekerjaan lain. Jasa memotret dianggap sebagai usaha sampingan. Namun kini, istilah ini menurut saya kurang pas dialamatkan kepada mereka, yang lebih tepat adalah profesional fotografer, mereka menyandarkan kehidupan sehari-harinya dari menawarkan jasa foto langsung jadi.

**Legenda yang dicatatkan oleh pengembaraan seorang pangeran muda kerajaan Sunda, Istana Pakuan menjelajahi pulau jawa, dengan berjalan kaki; Bujangga Manik (Naskah disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford Inggris sejak tahun 1627). Selanjutnya, pada masa kolonial Hindia-Belanda, melalui organisasi peduli kota “Bandoeng Vooruit” membuka jalan, hingga puncak kalderanya. Wisata ini sempat kurang diminati, seiring masa perang pendudukan jepang (1942-1945) hingga perang kemerdekaan (1945-1950). Baru beberapa puluh tahun kemudian, tahun 70-an, lokasi wisata ini mulai menggeliat.


Ditulis untuk merangkai sejarah fotografi dan menjelang 200 tahun Bandung

Wednesday, January 13, 2010

KI BUYUT ALUN-ALUN BANDUNG

Fotografer amatir alun-alun Bandung

“Tahun 1970-an awal itu kurang lebih 60 orang lebih yang berprofesi foto amatir, sekarang sih tinggal 6 orang saja. Itulah, semenjak hp sudah bisa pake motret, profesi kami sekarang sudah tidak menentu lagi”

Keluh kesah tersebut sepertinya dinikmati begitu saja, memang terlihat tanpa beban. Inilah pilihan hidup yang sudah dipilih Atoy Toyib sebagai fotografer amatir* yang beroperasi di wilayah sekitar alun-alun kota Bandung. Begitu banyak asam-garam yang dilakoninya, semenjak alun-alun yang terkenal dengan tempat transaksi “kembang Bandung” penggusuran, premanisme hingga beberapa kali menyaksikan perubahan struktur bangunan masjid. Karena konsisten semenjak tahun 70-an hingga kini, beberapa kawan-kawan seprofesi, berkelakar, memanggil Toyib sebagai Ki Buyut, selain mudah dikenali penampilan eksentrik, juga janggut putih tebal menjadikannya ciri monumen hidup di alun-alun Bandung.

Kamera merek terkenal awal tahun 80-an, tergantung kuat dilehernya. Nampak goresan sana-sini, bak ibarat kamera perang, melalui lensa 50mm inilah ia telah mendokumentasikan morfologis fashion, gaya rambut, pose remaja Bandung dari tahun tujuh puluhan hingga kini. “Ini mah jarang dipake, malahan ga ada filmnya, cuma aksi saja, biar orang tahu kalau saya adalah fotografer amatir” jelas Toyib. Penggunaan film 35mm masih juga ada yang berminat, tetapi tidak begitu banyak. Selain sebagai fotografer amatir, Toyib pun kadang menggunakan film untuk usaha foto langsung jadi, pada acara wisuda, pernikahan atau dokumentasi pas foto. “Tujuh anak saya, saya besarkan dengan kamera ini” sambil menunjuk kamera tuannya, terlihat sudah tidak berfungsi lagi. Film merupakan pilihan yang masuk akal bagi mereka, selain ekonomis, tampilan kamera ukuran 35mm masih “menjual kharisma” meskipun untuk tugas sehari-harinya ia menggunakan kamara jenis saku digital 6 megapixel.

Kini, jumlah pemotret yang aktif, berjumlah 6 orang saja, selain dirinya, ada beberapa kawan-kawan seperjuangannya turut pula mendampinginnya. Masing-masing kini menggunakan kamera digital poket. Bukan berarti mereka tidak ingin menggunakan jenis kamera yang DSLR yang layak, tetapi, bagi mereka benda tersebut masih jauh diangan-angan karena mahal. Bisa dikatakan, profesi terhormat seperti ini tampaknya jauh dari perhatian pemerintah, atau malah dari kapitalis penguasa usaha fotografi di Bandung. Tanpa kehadiran mereka, lab-lab foto di Bandung tentunya akan gulung tikar, karena tidak ada “order” proses film.

Meskipun pernah ada salah satu lab terbesar di kota Bandung memberikan perhatian, tetapi itu pun sebatas “bahasa” seremonial. Ketika Harry Roesli masih hidup, ia menggagas istilah tanggung jawab profesinya sebagai musisi, Ia menggalang pengamen di Bandung, kemudian diberikan pelatihan gratis. Ini semata-mata karena ia sebagai seniman, mengais hidup pula dari seni musik. Ia berharap, musik jalanan yang dipetik dari dawai gitar pengamen, mengalun dengan baik, dan indah diterima telinga. Kira-kira, akan seperti apa tanggung jawab moral kita, untuk fotografer amatir seperti ini? (denisugandi@gmail.com)

*Meskipun istilah rancu ini, tetapi sudah melekat di kalangan mereka yang menggantungkan hidupnya di dunia jasa fotografi. Sebutan fotografer amatir dikenal semenjak film hitam putih masuk di kota Bandung. Profesi ini digeluti dengan latar hoby atau belajar secara otodidak, sebagian diturunkan dari generasi sebelumnya. Pekerjaan ini menjadi pilihan hidup dan menjadi sumber mata pencaharian sehari-hari.

Tuesday, January 12, 2010

MEREKAM SEJARAH, MENAFSIR GELIAT KARYA MAHASISWA KINI


Pameran fotografi bersama komunitas Bidik Fotografi STIKOM Bandung.

Untuk yang ke sebelas kalinya (semenjak tahun 1998? Menurut ketua panitia) Unit Kegiatan Mahasiswa STIKOM bandung yang menamai dirinya BIDIK Photographhy, menggelar pameran fotografi bersama. Satu sudut ruangan pertemuan di Saung Angklung Udjo, kemudian disulap menjadi ruang pamer. Sebuah pameran bersama sekaligus kegiatan workshop yang digelar oleh komunitas dari tanggal 11-16 Januari 2010. Acungan jempol pastilah layak diberikan, karena mereka telah keluar dari lingkungan kampus, dan mempersembahkannya kepada masyarakat umum. Mari kita sikapi!

Sikap pertama, mungkin, pada kesempatan kali ini saja, sebuah pameran bersama fotografi digelar di Saung Angklung Udjo, pusat kebudayaan yang berorientasi komersial budaya bambu di Padasuka Bandung. Seperti layaknya sebuah pameran, beberapa karya fotografi disajikan dengan bingkai tanpa kaca. Masing-masing berukuran 30 kali 40 sentimeter ini ditata rapih. Lampu suhu 3500 kelvin digantung sedemikian rupa, agar penikmat foto bisa menikmati gambar yang dipajang. Penataan ruang pameran pun turut menyesuaikan, karena ukuran ruang pamer kurang memadai, rupanya panitia berhasil menyiasatinya. Manajemen lajur untuk menikmati foto dengan konsep linear, bisa dimulai dari mana saja, tanpa ada awal dan akhir. Nampaknya kurator tidak mementingkan ujung-pangkal pesan yang ingin disampaikan. Bagi saya, hal ini cukup membingungkan, terutama, tulisan pengantar pameran yang dicetak dengan ukuran font sangat kecil, sehingga bekal saya untuk menikmati karya menjadi “biasa-biasa saja” hingga foto yang kelima yang saya lihat, belumlah mendapatkan pesan apa yang diinginkan pihak penyelenggara. Begitu pula, katalog yang diberikan, kurang bisa menolong untuk memahami presentasi karya bersama ini.

Ruang pamer yang relatif sempit untuk jumlah lima puluh karya, nampaknya terlalu berdesak-desakan. Inilah yang menyebabkan para penikmat foto harus rela sabar, mengamati setiap foto. Tulisan pengantar atau disebut deskripsi, ditempel di ujung bingkai, nampaknya kurang serasi, jadi tulisan tersebut seperti hanya sekedar basa-basi, begitu pula konten tulisan kadang bertolak belakang dengan gambar yang disajikan, terlihat si pemotret tidak menganggap terlalu pentingnya tulisan pengantar karyanya. Bagi mereka yang berkunjung pada malam hari, pastilah kurang beruntung, dibandingkan siang hari. Karena penerangan menggunakan jenis tungsten bukan pilihan tepat, menyebabkan foto yang disajikan berkesan kekuning-kuningan (baca: yellow cast).

Sikap kedua. Nampaknya kurator belum berhasil memancing isu, karena wacana yang dilemparkan kurang greget, terlihat jelas dengan sajian bentuk, isi gambar adalah karya lama atau foto yang sudah diambil (beberapa foto diambil dalam rangka berpameran bersama, sumber: panitia) begitu pula dengan dengan tema “Potret Indonesia” jelas, beberapa karya yang dipamerkan ini bermaksud mencari tema yang “aman-aman saja” sehingga beberapa karya, stok foto yang sudah ada bisa lolos dipamerkan. Beberapa genre fotografi muncul di sini; jurnalistik, portraiture, human interest dan sebagainya, persislah seperti istilah rasanya rame.

Tema yang ditawarkan penyelenggara adalah (berikut petikan sub-judul pameran yang tercetak di katalog pameran) “potret Indonesia, berupaya mengaktualisasikan segala sesuatu yang mencerminkan wajah Indonesia, berupa keunikan, keragaman, kebokbrokan, kecintaan, kebudayaan, kesenian, pendidikan, sosial, fenomena alam dan yang lainnya” menurut saya, tema tersebut menjebak. Karena pesan sesungguhnya menjadi rancu, terkecoh bahasa jargon. Malah saya berpendapat, pameran tersebut bisa menjadi “pameran foto untuk katalog” bukan karya mandiri.

Menurut ketua pelaksana pameran, Fahrul Jayadiputra, angkatan 2007, kegiatan ini sudah dirancang semenjak bulan Agustus 2009 lalu. Ide pameran ini digulirkan di forum Bidik, sebagai tanggung jawab pameran bersama tiap tahun. Termasuk diantaranya angkatan 2007 dan 2008, sedangkan angkatan baru, 2009, terlibat sebatas panitia penyelenggara. Dari 30 pemotret anggota Bidik yang mengirimkan karya, terpilih hanya 15 orang saja, melalui proses kurasi yang dilakukan oleh Agus Bebeng, pewarta foto Antara Bandung. Dari beberapa karya tersebut, terpilihlah 50 karya yang layak pamer. Diantaranya karya; Wahid Arbi Sasmito, Ari Yoga, Fahrul Jayadiputra, Ferry Prakosa, Gilang Dwi Reviani, Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon, Bambang Prasethyo, Kanno Sardella, Ni Wayan Putri, Rangga Permana, Redian Tandiana, Rico Oktamawardi, Ridwan Nugraha dan Tara Hendra PL. Semuanya adalah anggota aktif komunitas Bidik. Memang, diakuinya, beberapa karya adalah hasil karya dari stok foto, ada pula yang melakukan pemotretan untuk pameran ini.

Sikap ketiga, adalah jelas, komunitas Bidik Photography ini adalah bentuk Unit Kegiatan Mahasiswa dari berbagai jurusan; Broadcasting dan jurnalistik, memang mereka berawal dari kampus. Namun sungguh sangat disayangkan, peran kampus, penyelenggara pendidikan STIKOM Bandung, rupanya belumlah menyambut baik kegiatan ini. Selain turut meramaikan dinamika kampus, kegiatan inipun niscaya turut mendukung aktualisasi mahasiswanya. Rasanya janggal, didalam katalog, pengantar pameran ataupun baligo yang dipajang, tidak pernah menyebutkan STIKOM ataupun logo kampus tersebut, padahal mereka adalah mahasiswa aktif dan secara administrasi masih terdaftar. Apakah karena kampus mereka tidak memberikan bantuan langsung? Saya tidak tahu.

Sikap keempat, terakhir, patut disukuri, komunitas kampus yang sedianya terlihat adem-ayem ini, rupanya menyimpan bara api dalam sekam. Diam-diam menghanyutkan. Meskipun beberapa karya masih kurang kuat di konten, namun secara teknis sudah mumpuni, jadi untuk pameran seperti ini rasanya tidak perlu lagi membahas bahasa persoalan “teknis”. Komunitas ini telah berani tampil menyeruak dari rasa sunyi apresiasi fotografi di kota Bandung, walaupun komunitas fotografi di Bandung merindukan ruang pamer yang layak, saya yakin semangat mereka tetap membara. Meskipun sirkulasi pengurus unit kegiatan kampus ini berumur setahun, namun mereka berhasil menularkannya pada angkatan berikutnya, dan menjadikannya agenda tahunan Bidik Photography, Bravo! (denisugandi@gmail.com)