Sunday, March 15, 2009

Sejarah Singkat Forum Fotografi Bandung

Satu komunitas yang didirikan bersama, selain akibat sering kongkow bareng di sebuah suplier fotografi di jalan Braga, Bandung, juga karena kegelisahan yang sama. Sama-sama merindukan ekspresi dalam bingkai seni fotografi. Sebuah alternatif berkesenian “perlawanan nan nyeleneh” yang kemudian dibungkus dalam Forum Fotografi Bandung. Berdiri semenjak 1986.

Bila menengok tonggak sejarah fotografi di Bandung, pastilah menunjuk PAF, dilahirkan oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker pada tahun 1920, dan dibesarkan oleh nama-nama hebat pula. Katakanlah, Soelarko, K.C. Limarga, Husein Tanzil, Leonardi, Dayat Ratman, Setiady Tanzil, Wismanto dan lain sebagainya. Seperti isyarat Deandles ketika menancapkan tongkatnya, dan berkata “Sorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun. Tidak seperti Forum Fotografi Bandung (FFB) yang hendak tidak menancapkan apa-apa, pada awalnya. Tetapi pada akhirnya, sangat layak untuk ditorehkan dalam catatan singkat perjalanaan sejarah fotografi Bandung.

Kongkow-kongkow. Bermuara di sebuah toko tua, suplier alat-alat fotografi di jalan Braga, kala itu bernama Toko Niaga, kini berganti manajemen, menjadi Kamal photo. Dari toko inilah yang sering menjadi tempat pemberhentian sementara, selain sekedar “halte” kala menunggu cetakan foto selesai di Pasific Photo (Sebelah Niaga) juga update informasi teknologi fotografi, kamera, lensa dan film terbaru, juga lambat laun terbentuk menjadi ajang diskusi tidak resmi. Membahas teknologi jenis film terbaru, hingga membahas karya.

Tersebutlah Jirman D. Martha, Ray Bachtiar, Hari “Pochang” Krishnadi, Sjuaibun Iljas, Iwan Sulaiman, Eko Nugroho, Herman Efendi, Iwan Ocay, Saud Hutabarat, Ohan Mahria, Dwi Dharma Yoga, Andar Manik, Marintan Sirait, Yani Dzelug, Yayat Rusmana, Husni Agus, Dadan Hendana, Zaza Fauza, Gino Francohadi dan Donny Rachmansyah (mohon dikoreksi bila belum ada yang disebut) dan bergabung pula ekspatriat (karyawan asing PT. Nurtanio) penggemar fotografi dari Spanyol, Inggris dan Prancis; Dominggo Ballaguer, Niegel, Arnaud Grandgullote. Sebagai tuan rumah, pemilik toko foto Niaga, Ko Ekam, tidak segan-segan memberikan dukungan, diantaranya seringnya membagikan film gratis atau filter Polarizer, sebagai tanda dukungan moral kepada komunitas ini.

Bermodal antusias, maka pada tanggal 3 Januari 1986, gerakan moral ini dikukuhkan menjadi sebuah wadah bersama, sebuah forum komunikasi fotografi, dinamai Forum Fotografi Bandung, di tempat Centre Point (Toko Sepatu Import) jalan Braga Bandung, tempat pertemuan awal terbentuknya FFB, lebih tepatnya tempat tinggal Iwan “Bule” Suherman, yang kelak terpilih menjadi sekretaris umum. Pertemuan selanjutnya dilakukan pula dikediaman Jirman D. Martha, jalan Otista No. 469 Bandung.

Dari pertemuan tersebut, tersusunlah pengurusan baru FFB, sebagai berikut; Penasehat Prof. DR. Komar Kantaatmadja SH. LLM (Alm), Drs. AD. Pirous, Ketua Umum Jirman D. Martha, Ketua I Drs. Ohan Mahria, Ketua II Harry “Pochang” Krishnadi, Sekretaris Umum Drs. Iwan H. Sulaiman, Sekretaris I Sjuaibun Iljas, Sekretaris II Dra Fauwza Armodirono, Bendahara Iwan Rustiawan, Bendahara I Tiarma Dame Ruth Sirait, Bendahara II Maryoko Hadi, Pendidikan Drs. Donny Rachmansyah & Andar Manik, Kegiatan luar Drs. Dadan Hendana dan Bulletin Dra. Lola Shirin dan Hilda Winar.

Forumers! Inilah sebutan bagi anggota FFB. Selain mengadakan petemuan rutin dua mingguan, membahas karya, wacana dan teknis, juga mengadakan hunting bareng. Beberapa model yang pernah bersentuhan dengan forumers adalah Farina, Shanti, Keke Harun dan Ifa. Pergumulan para forumers tidak terbatas disini saja. Terhitung, semenjak terbentuknya FFB, telah tiga kali mengadakan dua kali pameran bersama, satu kali event seminar, partisipasi pameran dan workshop bersama. Ditahun pertama ini begabung pula beberapa forumers baru, dengan cara metode referensi, minimal dari dua orang anggota FFB yang telah terdaftar. Diantaranya bergabungnya Krisna “Cheese” Satmoko, Gerald Adhi, Zaza Fauza, Meiki Prasetyo, Syarief “Bewok” Hidayat, Andre Walker, Isma, Ricky Rukmantara dll.

Ideologi! “Sekelompok anak muda yang memiliki obesesi ini tanpa disadari telah memberi bentuk dan karakteristik kepada kelompok ini, yang senantiasa menjelajahi berbagai kemungkinan yang terpendam dalam dunia fotografi. Paling tidak mencoba memperluas wawasan bahwa fotografi bukan hanya “salon” yang selama berpuluh –puluh tahun bergaung di Indonesia, tanpa meninggalkan kaidah-kaidah fotografi” demikian cukilan dari pengantar di seminar di Seminar dan Workshop Fotografi; Sebagai penunjang bisnis di Indonesia, 7-8 Desember 1990. FFB ini mewadahi ekspresi fotografi, mulai dari kreasi montase fotografi-grafis, karya “nakal”, hingga instalasi foto yang disajikan Ray Bachtiar Drajat. Bisa dikatakan bahwa, FFB ini menawarkan wacana “alternatif” yang belum tentu diterima pakem yang berlaku saat itu. FFB, berusaha “memberikan” tawaran baru cara mengapresiasi fotografi keluar dari kungkungan salonis pada masa itu. Menurut Jirman D. Martha, FFB lahir bukan berupaya menyaingi “klub fotografi” tertua di Indonesia, tetapi turut melengkapi khasanah fotografi Nasional.

Gerakan pembaharu. Debut FFB pertama adalah menggelar pameran bersama “Pameran Foto Alternatif” tahun 1986 di CCF Bandung. Terhitung hampir 100 buah karya forumers yang dipamerkan, termasuk karya kontroversial Ray Bachtiar Drajat, yang mengundang perhatian khusus dari Soelarko. Dilanjutkan tahun berikutnya, 1987, tiga forumers terpilih mengikuti International Woman Photography Exhebition di Eropa. Tahun 1988, untuk kedua kalinya, menggelar pameran fotografi bersama “Pameran Foto Forum Ekspresi” dilaksanakan didua tempat, dengan waktu berbeda; CCF jalan Purnawarman dan gedung PWI jalan Asia-Afrika Bandung. Tahun 1989 bekerja sama dengan Goethe Institute dan Aliance France menyelenggarakan diskusi dan presentasi karya fotografer Jerman. 1989, Lomba foto model CLS dan Lomba foto Ino Fiesta di Bandung. Masih pada tahun yang sama, mengikuti pameran International Photo Fair di Jakarta. 1990, support diskusi bersama Darwis Triadi di Bandung, tahun yang sama, berpameran “Pameran Tunggal’ anggota Forum di Depdikbud Jakarta. 1990, mengadakan Seminar dan Workshop fotografi selama dua hari di Bandung.

Pergulatan eksistensi. Begitulah antusias besar ini, akhirnya disimpulkan dipenghujung tahun 1994! Torehan besar yang direkam dalam catatan sejarah fotografi Indonesia “Indonesia Photographers Gathering” event pertama kali di Indonesia, yang merangkul para antusias fotografi se-Indonesia. Ini adalah puncak semangat forumers, dalam visinya, melebarkan sayap apresiasi fotografi di Indonesia.

Tercatat, hampir seribu orang lebih memadati acara ini; workshop, seminar dan lomba foto. Dibuka secara khusus oleh seorang antusias fotografi, Harmoko, saat itu sebagai Menteri Penerangan saat itu, dan dihadiri pula oleh Alm. Leo Nardi, Back Tohir (Sekretariat negara), Ed Zoelverdi (Jurnalis) Kayus Mulya, Edwin Rahardjo, Darwis Triadi, Ferry Ardianto, Yudhi Suryoarmodjo, Oscar Motuloh (GFJA) B. Boediardjo selaku ketua FPSI. Kehadiran pa Boedi, merupakan “islah” pergulatan panjang pengakuan FFB di dalam struktur FPSI, meskipun untuk beberapa forumers, termasuk bagian FPSI tidak menjadi agenda penting.

Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun forum ini berkurang intensitas pertemuannya. Terhitung awal tahun 1990-an, aktifitas forum ini semakin meredup, karena kesibukan anggotanya masing-masing. Beberapa kali usaha regenerasi telah dilakukan, pada akhirnya upaya tersebut tiba dijalan buntu. Satu catatan kecil yang bisa ditulis; bahwa FFB telah melangkah jauh dari masanya, menawarkan ideologi kritis, bahwa fotografi tidak melulu bahasa teknis, tetapi menerawang mempersoalkan, dibalik foto itu sendiri! (Deni Sugandi)

Sumber: Wawancara dengan Jirman D. Martha, Dharma Yoga dan Sjuaibun Iljas. Booklet FFB Seminar dan Workshop Fotografi Sebagai Penunjang Bisnis di Indonesia (7-8 Desember 1990)

Wednesday, March 4, 2009

Yuyun si Jentreng Kacapi

http://www.facebook.com/album.php?aid=5635&id=1035909978 

usianya yang senja, Yuyun Yuningsih (84 tahun) nenek ini terlihat antusias dan sangat menghayati setiap lantunan lagunya, dengan iringan kacapi degung Sunda karya mang Koko almarhum. Suaranya bergetar, kadang membawa rasa "waas" bagi penikmat karawitan Sunda. Kini, si nenek tua ini bisa dikatakan sebagai legenda hidup kacapi Sunda yang masih produktif di tatar kota Bandung. Kembali pada masanya, ia telah melanglang buana bersama sanggar seni yang dipimpin Upit Sarimanah, diantaranya menjadi pengisi di program acara Mang Koko di RRI Bandung pada tahun 1960-an. Meskipun tidak disetujui suami, dengan dana swadaya, ema Yuyun bertekad mendirikan sanggar seni yang dikelolanya sendiri, dinamai Tritunggal. Akhirnya tahun 1980-an terpaksa ditutup karena faktor finansial dan berkurangnya perhatian generasi muda terhadap seni Sunda. Saat ini, karena kurangnya perhatian dari pemerintah untuk seniman dan seniwati angkatan 1950-an, kini nasib ema Yuyun terlantar. Pilihannya adalah menjadi pengamen, karena harus bisa bertahan hidup. Ema Yuyun bertutur bahwa menjadi pengamen bukan berarti pekerjaan hina, bila tujuannya adalah mengabarkan, bahwa seni Sunda kacapi degung ini perlu menjadi perhatian generasi penerusnya. Dibalik raut tuanya ia berkata bahwa, kebudayaan lokal adalah kekayaan nasional. Siapa lagi yang melestarikan budaya dan seni kalau bukan kita semua. (foto/teks denisugandi)

Bagi ilmu fotografi a’la Prayitno Soelarko; Sejarah singkat ISFD

Dibawah naungan bayang besar sang ayah, RM. Soelarko (Alm), seorang Prayitno berupaya menwujudkan institute fotografi pertama di Indonesia.

 

Jauh sebelum fotografi masuk kampus, dan masuk kedalam silabus institusi atau program khusus, fotografi telah diajarkan secara sistematis di Institute Seni Fotografi dan Disain (ISFD) pada tahun 1979. Beberapa tahun kemudian, ilmu fotografi masuk, sebagai program khusus di Institute Kesenian Jakarta (IKJ Jakarta), pada tahun 1992. Pada tahun yang sama pula, Galleri Fotografi Jurnalistik Antara (GFJA) hadir. Disusul Fakultas Seni Media Rekam ISI yogjakarta, pada tahun 1994. Pada tahun selanjutnya, berdirilah Fakultas Ilmu Seni di Universitas Pasundan, untuk Program Fotografi dan Film, pada tanggal 13 Februari 1996.

 

Berawal dari kursus singkat oleh Alm. RM. Soelarko (meninggal 12 Maret 2005), Jalan Riau 55 Bandung, pada tahun 1971 hingga 1974, dengan nama Fokine. Karena kesibukan beliau, kegiatan kursusnya pun terbengkalai. Kesempatan ini, kemudian dipercayakan kepada putranya, Prayitno Soelarko, sepulangnya dari Sydney (NSW) Australia untuk melanjutkannya. Meskipun tidak dengan secara eksplisit, menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan, namun Prayitno mengembangkannya lebih sistematis. Diakui pula, oleh Prayitno, bahwa selanjutnya, beliau (baca. Soelarko) hanya bersifat simbolis saja, tidak langsung terlibat di kepengurusan manajemen, maupun sebagai staff pengajar tetap. Namun bisa disebut sebagai penasehat, kadang memberikan kuliah luar biasa, atau berbagi pengalaman, meninjau pameran karya siswa, itupun disesuaikan dengan kesempatan dan waktu yang tersedia.

 

Berbekal ilmu fotografi yang didapat dari luar negeri, dan pengalamannya sebagai profesional fotografer, Koresponden majalah musik Aktuil di Sydney dan bantuan pamannya, RM Hartoko, Prayitno meneguhkan niatannya, mendirikan sebuah institusi, yang kemudian dinamai Institut Seni Fotografi dan Disain. Saat itu ilmu disain praktis masuk disertakan. (meskipun beberapa tahun kemudian, kurang begitu diminati)

 

Tercatat, tahun 1979, secara resmi ISFD berdiri, dan bersekretariat di jalan Riau No. 55 Bandung. Manajemen intitusi menawarkan ragam pelatihan fotografi, diantaranya program glamour, comercial art, basic photography, portraiture, cuci cetak foto warna dan hitam putih (Darkroom) Masing-masing program berdurasi dua jam, tiga kali seminggu selama satu setengah bulan. Untuk program fotografi Lanjutan dipegang langsung oleh Prayitno Soelarko, sebagai principal ISFD dan Program Dasar dipegang oleh Staf Pengajar lainnya.

 

ISFD meroket pesat, diawal tahun 1980-an, memberikan training khusus untuk departemen di LIPI, membekali staff-nya dalam rangka penelitian di lapangan. Berikutnya adalah staff humas PT. Nurtanio Bandung. Kemudian Staff Humas Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung. Bukan hanya sebatas segmen korporat, ISFD-pun pernah menangani training khusus untuk 60 orang lebih calon fotografer dari agensi penyalur tenaga kerja kapal pesiar, Cipta Karya Bahari, yang kelak akan ditempatkan sebagai staff fotografi di pelayaran tersebut. Selain Prayitno sendiri yang memberikan training, ada pula staff pengajar yang direkrut ISFD, adalah Sjuaibun iljas dan Soelaiman Abadi (kini mereka berdua tercatat sebagai staff pengajar tetap di Fakultas Seni dan Sastra untuk program Seni Fotografi dan Film UNPAS). Karena masih kekurangan trainer, maka direkrut pula mantan siswa, diantaranya Guntur Primagotama (terdaftar sebagai siswa tahun 1993, dan mulai mengajar di modul basic photography sejak tahun 1994 hingga 1995), Fatra Nugraha, Agus item, Aep dan Zelfi, Herdi Soeharjo.

 

Bisa dikatakan bahwa, sepanjang tahun 1988 hingga 1990 adalah masa keemasan ISFD, untuk program fotografi. Sedangkan program disain tidak begitu berkembang, bisa dikatakan mati suri.

 

Tercatat beberapa nama yang pernah singgah disini diantara lain; Yuyun, Andre Walker, Chandra Ong, Naels, Achmad “Didik” Sadikin (kemudian mendirikan Casual photography di Red Point Advertising, bergerak di komersial) , Guntur Primagotama, Daud, putra Sam Bimbo, Kol. Syarwan Hamid (mantan Mendagri 1998-1999), Yoki Panji Baskara (Hypnosis Photography) , Lydia (fotogafer Maj. Foto Indonesia) dan Dewi (mantan Fotografer Jonas) Mia yang kini memegang penuh manajemen Jonas Banda Bandung, Rama Surya dan beberapa anak dari pemilik lab foto terkenal di Bandung. Dalam perjalanannya, ISFD pun bekerja sama dengan Mayagrafia, agensi model yang melahirkan Cyndhanita Arum, Ni luh Sekar Herdayani, Vera, Ria, Mia, dll. Agensi ini diurus oleh Uchy Prijodipoero (bergabung tahun 1989 hingga 1993), juga merangkap sekretaris manajemen ISFD.

 

Pada tahun1995 siswa ISFD ini menggelar pameran karya Siswa antara lain di Potret (Unpar), Yayasan Pusat Kebudayaan (Jl. Naripan) sekaligus mempertegas kualitas institusi ini, menggelar karya pameran foto bersama di CCF jalan Purnawarman Bandung. Goethe Institut, Landmark Building (Braga). Ada satu kisah unik, bahwa sebagai head of principal, Prayitno Soelarko bermaksud mengganti nama ISFD menjadi Pusat Pendidikan Seni Fotografi Indonesia (PPSF), ketika akan membuka kembali di Jl. Dago.Yang kemudian tidak disetujui oleh salah satu siswa seniornya, diantaranya Achmad “Dikdik” Sadikin. Alasan mendasarnya adalah, nama ISFD telah lama dikenal, jadi untuk mengganti nama, sama dengan re-branding, atau memperkenalkan kembali dari awal.

 

Ketika badai krisis menerpa Indonesia, tahun 1998, ISFD terkena imbasnya. Selain berkurangnya minat siswa untuk belajar fotografi, juga karena kesulitan finansial manajemen. Untuk bertahan, selain mengurangi staff pengajar dan manajemen, seluruh kegiatan belajar pun pindah ke lokasi baru, di jalan Dago (kini jadi pom bensin) pada tahun 2003. Inilah titik balik ISFD. Pada masa itu pun mulai bermunculan sekolah dan kursus fotografi di Bandung. Diantaranya; Stylize Jirman D. Martha jalan Cicendo, Pusat Pelatihan Jonas (PPFJ) pada tahun 1998 hingga 2003, dan berganti manajemen menjadi INOVA School of photography, jalan Dangdanggula 8. Medicourse, di jalan Sultan Agung no.10 Bandung, dan beberapa pelatihan fotografi informal dalam bentuk shortcourse; Seruni photo jalan Merdeka, Sekolah Foto Tjap Budhi ipoeng, PAF melalui yayasannnya dll.

 

Hingga kini, memasuki usia yang 62 tahun, Prayitno Soelarko masih menerima siswa dalam bentuk kursus tertutup dan terbatas, yang kini dilakukannya di rumahnya, jalan Parasitologi No. 10 Cigadung Bandung sampai sekarang. “Selama saya masih mampu, mungkin saya akan tetap mengajar” begitulah celoteh Prayitno, yang kini penggemar tanaman tropis, menutup wawancara. Inilah sejarah yang telah mewarnai khasanah fotografi Indonesia, Institute fotografi pertama di Indonesia. (Deni Sugandi)

 

Sumber:

Wawancara dengan Prayitno Soelarko, Guntur Primagotama, Achmad Sadikin dan Uchy Prijodipoero.

 

Monday, March 2, 2009

Alih Rupa Visual dari Revolusi Bolsevik hingga Sandra Dewi

Disampaikan untuk Seminar di Pameran Foto Bersama SPEKTRUM UNPAD, Gedung PWI Jalan Asia-Afrika Bandung, 17 Mei 2008

Masih ingatkah, atau pasti pernah mendengar atau melihat sebuah foto yang menghebohkan kancah politik nasional? Gus Dur berfoto bersama dengan seorang wanita muda, dengan posisi bukan layaknya bapak kepada anaknya? Pastilah sudah pernah melihat. Atau seorang pesohor pelakon sinetron Dewi Sandra, dengan berkaca-kaca mengatakan di depan media Newstaintment, bahwa foto dirinya yang terpampang, dan bisa diunduh secara bebas di internet, adalah bukan tubuh moleknya. Atau satu lagi, bantahan keras, sama juga, seorang pelakon sinetron, wanita cantik jelita tetapi sudah almarhumah kini, mengatakan bahwa foto intimnya dengan penembang lagu dan front man grup band terkenal, adalah bukan dirinya yang sebenarnya. Semuanya adalah REKAYASA belaka! (Istilah yang saya pinjam dari tokoh Telematika terkenal, Roy Suryo) “ Apa kata dunia” begitulah kalau Naga Bonar di beri kesempatan mengomentari.

Seorang suami, jelas sangat tega, menusuk istrinya berkali-kali hingga mati! (sumber koran Kompas Mei 2008.Red) bukan karena kesulitan ekonomi, seperti yang sering digaung-gaungkan oleh media, tetapi karena masalah sepele. Foto berdua suami istri yang bersangkutan, tanpa ada niat buruk, hanya untuk ide menggelitik, mengganti wajah suami difoto tersebut oleh mantan pacar istrinya, istrinya lah yang melakukannya dengan bantuan seorang “Ahli rekayasa” (sekali lagi saya pinjam istilah Roy Suryo) kemudian foto tersebut di simpan di dompetnya. Akhir cerita sudah pasti mudah disimpulkan, cemburu membakar nalar.

Itu baru terjadi di dalam negeri, kembali masa revolusi Bolsevik di Rusia. Ingat Lenin, orang barat pro Amerika selalu mengolok-olok nama lengkapnya aneh. (Begitluh barat menyikapai revolusi komunis Rusia) ketika berpidato, 5 Mei 1920, untuk membakar semangat kaum proletar, dan pasukan bersenjatanya yang masih loyal, tampat Leon Trotsky dan Lev Kamanev di depan barisan. Tetapi pada babak politik selanjutnya, kedua tokoh politik ini bersebrangan paham denga Lenin, hingga pihak sensor menghapusnya dari foto tersebut.

Bagaiman bila alih rupa visual foto bisa hadir di media masa? Percaya atau tidak, National Geographic Magazine, notabenenya mengharamkan edit alih rupa, ternyata pernah melakukannya! Tengok kaver Februari 1982. Di majalah ini, kulit muka artikel tentang Mesir, tampaklah karya foto senior fotografer NG, Gordon Gahen bergambar Piramid Giza, diedit dengan cara di tarik horinsontal ke dalam, agar cocok dengan format majalah yang vertikal. Tom Kennedy, Director of Photography di NG mengatakan komentarnya, ketika foto tersebut telah di alih rupa “Kini, kami tidak lagi menggunakan teknologi apapun, dengan tujuan memanipulasi element foto agar bisa tampil menarik secara grafis. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal, dan kini kami tidak akan mengulanginya lagi”

Pada bulan Agustus 2006, Adnan Hajj meliput pemboman tentara Istrael terhadap penduduk Libanon. Foto ini dimuat di jaringan Reuters News Agency. Beberapa hari kemudian foto tesebut dibahas di beberapa blog dan news agency besar lainya, ternyata foto tersebut telah di alih rupa digital; dengan menambahi asap hasil pemboman, untuk mendapatkan efek dramatis. Reuters mengambil sikap; mencoret nama Adnan Hajj, dan menghapus lebih dari 1000 fotonya di server Reuters.

Alih rupa, atau tampered dalam bahasa Ingris berarti “To try to corrupt or influence somebody or affect the outcome of something (Microsoft Encarta Student, 2007) terjemahan bebasnya dalam konteks fotografi kurang lebih seperti ini “Usaha-usaha alih rupa (Image) untuk memberikan makna (tersirat/visual) lain, sesuai dengan kepentingan bersangkutan” Kemudian sejak kapan istilah itu diyakini ada? Kenapa? Jawabanya tentunya untuk melindungi kepentingan karir individu, kelompok, partai malahan untuk membuat opini persepsi komunikasi visual sebuah negara! Tidak percaya?

Pada masa kejayaan partai komunis Cina, mereka pernah melakukan alih rupa foto melalui lembaga sensornya. Pada Sepetember 1976, saat upacara pemakaman MaoTse-tong, tampak “Gang of Four” lawan politik Mao, telah dihapus dari foto. Tujuannya demi keamanan nasional kala itu.

Lain dulu lain sekarang, teknologi digital imaging bisa mengupayakan alih rupa tampil sangat meyakinkan, menipu mata. Bagi mata tidak terlatih, sebuah gambar alih rupa bisa menjadi bahan referensi-nya untuk membuat penilaian, ingat suami menmbunuh istrinya gara gara foto berduanya di alih rupa digital? Atau bisa lebih mengerikan lagi? Lantas bagaiman kita harus bersikap? Mana harus kita percayai? Adakah pilihan lain? Begitu dahsayatkah persepsi di dijungkirbalikan dengan teknik alih rupa digital terhadap cara pangdang masyaraktanya?

Jadinya, sebuah visual bisa membuat teror (Deni Sugandi)

Sunday, March 1, 2009

Pameran foto 10rebuan, MURI gtoloh.

Pengumuman!!!! Revisi
Untuk pameran fotografi akan ada revisi ulang dari beberapa acara.

Informasi lebih lanjut silahkan kirim komen atau email (ppaf3_2009@yahoo.co.id),kemudian akan kami kirim sejumlah acara yang telah direvisi ulang. Mohon maklum untuk rekan semuanya!!!
(di ambil dari thread komunitas FN, http://www.fotografer.net/isi/forum/topik.php?id=3194043324)


Salam erat, sahabat fotogarfia!

Menanggapi serba 10ribu, saya jadi "getek" tergelitik dengan istilah pemecahan rekor. tahun lalu, sudah tercapai lebih dari seribu foto berhasil dicapai PAF-TITAN-SERUNI pada Indonesia Photoweek desember, 2007, di Bragacity Walk. Kini kemudian ditawarkan oleh temen temen dari LISMA Fotografi UNPAS, yang nota benenya adalah agent of change! mahasiswa adalah agen perubahan, bagi masyarakat disekitarnya.

Melihat keinginan tersebut, tentunya saya tidak bisa melarang, karena itu adalah wilayah "eksistensi" temen temen di LISMA. yang bisa saya terharukan adalah kesedihan dan keprihatinan saya atas keinginan cara "eksis" nya. langkah dangkal tersebut (mohon maaf bila tersinggung) tidak membuahkan apa-apa, selain secarik surat pengesahan "hebat anda lulus sebagai pemecah rekor MURI" dengan demikian, konten fotogarfi tidak berbunyi.

Kembali, menempatkan fotografi sebagai pilihan cara eksistensi seperti itu rasanya sangat kurang tepat. jadi karya visual tersebut sama dengan karya dekoratif, tidak lebih tidak kurang. pemerkosaan seperti ini sangat disayangkan datang dari kampus, yang sekali lagi, maaf, nota benenya calon para cendikiawan. Fotografi seharusnya bisa membawa pemahaman baru dan mengusung informasi kegelisahan dari dunia kampus, bukan berarti dicetak ribuan, kemudian dibungkam menjadi karya kolektif yang narsistik, MURI gitu loh.

Alkisah, harian umum Kompas, pernah memuat sebuah foto pada Mei 1998, seorang mahasiswi terkapar, tanpa teks penegas, apakah ia mati atau tidak. Sebuah jepretan karya Julian Sihombing, pewarta foto Kompas. Dari foto inilah, diyakini Mei kelabu tercetus! Membuat seorang dikatator kuat, semacam Soeharto bisa takluk. Jelas foto telah membawa perubahan, menyampaikan sebuah pesan, kemudian diterjemahkan menjadi kekuatan sosial. Begitu pula, sebuah karya foto monumental Alberto Kordas! Karena fotonya, Che Guevara di tasbihkan menjadi seorang martir, hingga kini menjadi budaya perlawanan populis.

Kembali menempatkan fotografi bentuk dekoratif sebagai kepentingan untuk meraih rekor 10 ribuan MURI, dan demi selembar kertas sertifikat, pertanyaan saya adalah “..terus apa?” Ketika terjadi, berarti “Kematian fotografi” sedang dimulai. Semoga prihatin. (Deni Sugandi)